Pengungsi Suriah di lebanon kekurangan bahan bakar
2 November 2013 22:04 WIB
ilustrasi Anak-anak bermain di atas kendaraan tempur yang sudah hancur milik pasukan yang loyal terhadap Presiden Suriah Bashar al-Assad di Azaz, Suriah utara dekat perbatasan Turki, Senin (8/10). (REUTERS/Zain Karam)
Rachaya, Lebanon (ANTARA News) - Sementara musim dingin mendekat, pengungsi Suriah di Rachaya, Lebanon, sangat memerlukan bahan bakar untuk menghangatkan tubuh guna menghadapi hujan lebat dan salju.
Salju dan hujan diperkirakan akan menyelimuti sebagian besar wilayah pegunungan di Lebanon, tempat para pengungsi berada.
Fadi As-Sameh, pengungsi dari Ibu Kota Suriah, Damaskus, khawatir tenda kecil yang ia dirikan di Pinggir Sungai Litani di Lembah Bekaa tak bisa menahan terpaan angin dan guyuran hujan. Ia juga harus memikirkan cara untuk memperoleh cukup kayu bakar agar anak-anak bisa menghangatkan badan.
"Ini tidak mungkin ... Udara dingin mengakibatkan segala jenis penyakit. Barangkali, saya harus mengumpulkan ban mobil bekas untuk dibakar," kata As-Sameh, sebagaimana dilaporkan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Sabtu malam.
Omar Al-Maalouf, yang tinggal di satu tenda di dekat tenda As-Sameh, mengenang penderitaan yang ia lewati pada musim dingin tahun lalu. Banjir menerjang lembah itu dan permukaan air mencapai ketinggian setengah meter di dalam tendanya.
"Kekhawatiran kami yang sesungguhnya ialah semua tenda ini akan berantakan dalam topan pertama. Tenda ini benar-benar ringan dan semuanya akan menimpa kepala kami, tapi kami tak memiliki apa pun yang lain (untuk berteduh) dalam menghadapi bahaya yang akan datang," katanya.
Ali Al-Fares, yang juga berasal dari Damaskus, menetap bersama denan delapan anaknya di satu ruang kecil di Rachaya Al Wadi di Bekaa Timur. Keluarga tersebut harus menggunakan lembaran nilon untuk menutup satu-satunya jendela.
Ia mengatakan desanya, yang berada 1.700 meter di atas permukaan laut, dikenal karena musim dingin yang keras dan salju tebal --yang menutupi jalan di sana selama empat bulan.
Ia mengeluh bahwa meskipun ia bekerja di satu toko unggas yang berada tidak jauh, ia hanya memperoleh 200 dolar AS dan "itu tidak cukup untuk membeli minyak pemanas selama satu bulan. Kami tidak tahu bagaimana kami akan bertahan hidup".
Penderitaan Al-Fares umum di kalangan sebagian besar pengungsi Suriah. Fadia Abou El-Izzi, ibu empat anak yang menjadi pengungsi dan berasal dari Kota Aleppo, memberitahu Xinhua, "Suami saya tewas dalam perang tahun lalu. Penderitaan menghampiri kami dan kami harus membeli minyak pemanas atau kayu bakar. Kami harus mengeluarkan delapan dolar untuk pemanas setiap hari dan tak mungkin kami dapat bertahan seperti ini selama enam bulan. Kami nyaris tak bisa membeli makanan."
Sementara itu pengungsi lain, Abboudi Al Fihan, bekerja di tempat pengolahan minyak zaitun dan setiap hari memperoleh satu tas gambut, yang bisa dibakar dan akan menjadi penghangat sementara seperti bahan bakar buat dia. Namun ia mengatakan apa yang telah ia kumpulkan hanya bisa ia gunakan selama satu bulan.
Ia mengeluh, "Apa yang harus dilakukan selama sisa musim dingin? Saya memperoleh gaji per bulan 200 dolar dan itu nyaris tak bisa saya gunakan untuk membeli makanan buat enam anggota keluarga saya."
(C003)
Salju dan hujan diperkirakan akan menyelimuti sebagian besar wilayah pegunungan di Lebanon, tempat para pengungsi berada.
Fadi As-Sameh, pengungsi dari Ibu Kota Suriah, Damaskus, khawatir tenda kecil yang ia dirikan di Pinggir Sungai Litani di Lembah Bekaa tak bisa menahan terpaan angin dan guyuran hujan. Ia juga harus memikirkan cara untuk memperoleh cukup kayu bakar agar anak-anak bisa menghangatkan badan.
"Ini tidak mungkin ... Udara dingin mengakibatkan segala jenis penyakit. Barangkali, saya harus mengumpulkan ban mobil bekas untuk dibakar," kata As-Sameh, sebagaimana dilaporkan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Sabtu malam.
Omar Al-Maalouf, yang tinggal di satu tenda di dekat tenda As-Sameh, mengenang penderitaan yang ia lewati pada musim dingin tahun lalu. Banjir menerjang lembah itu dan permukaan air mencapai ketinggian setengah meter di dalam tendanya.
"Kekhawatiran kami yang sesungguhnya ialah semua tenda ini akan berantakan dalam topan pertama. Tenda ini benar-benar ringan dan semuanya akan menimpa kepala kami, tapi kami tak memiliki apa pun yang lain (untuk berteduh) dalam menghadapi bahaya yang akan datang," katanya.
Ali Al-Fares, yang juga berasal dari Damaskus, menetap bersama denan delapan anaknya di satu ruang kecil di Rachaya Al Wadi di Bekaa Timur. Keluarga tersebut harus menggunakan lembaran nilon untuk menutup satu-satunya jendela.
Ia mengatakan desanya, yang berada 1.700 meter di atas permukaan laut, dikenal karena musim dingin yang keras dan salju tebal --yang menutupi jalan di sana selama empat bulan.
Ia mengeluh bahwa meskipun ia bekerja di satu toko unggas yang berada tidak jauh, ia hanya memperoleh 200 dolar AS dan "itu tidak cukup untuk membeli minyak pemanas selama satu bulan. Kami tidak tahu bagaimana kami akan bertahan hidup".
Penderitaan Al-Fares umum di kalangan sebagian besar pengungsi Suriah. Fadia Abou El-Izzi, ibu empat anak yang menjadi pengungsi dan berasal dari Kota Aleppo, memberitahu Xinhua, "Suami saya tewas dalam perang tahun lalu. Penderitaan menghampiri kami dan kami harus membeli minyak pemanas atau kayu bakar. Kami harus mengeluarkan delapan dolar untuk pemanas setiap hari dan tak mungkin kami dapat bertahan seperti ini selama enam bulan. Kami nyaris tak bisa membeli makanan."
Sementara itu pengungsi lain, Abboudi Al Fihan, bekerja di tempat pengolahan minyak zaitun dan setiap hari memperoleh satu tas gambut, yang bisa dibakar dan akan menjadi penghangat sementara seperti bahan bakar buat dia. Namun ia mengatakan apa yang telah ia kumpulkan hanya bisa ia gunakan selama satu bulan.
Ia mengeluh, "Apa yang harus dilakukan selama sisa musim dingin? Saya memperoleh gaji per bulan 200 dolar dan itu nyaris tak bisa saya gunakan untuk membeli makanan buat enam anggota keluarga saya."
(C003)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013
Tags: