Pada kuliah umum bertajuk “Perubahan Iklim dan Dampaknya bagi Kelompok Disabilitas” di Jakarta, Rabu, ia mengatakan minimnya akses kelompok rentan itu terhadap berbagai layanan publik termasuk sekolah menyebabkan mereka tertinggal sehingga sulit mengantisipasi dampak perubahan iklim.
“Jadi dampak dari minimnya akses yang bisa mereka dapatkan sangat terasa ketika berbicara perubahan iklim, betapa perubahan iklim bagi penyandang disabilitas itu bisa berkali-kali lipat dampaknya dibandingkan dengan yang tidak disabilitas,” kata Yeni.
Sebagai contoh dari aspek ekonomi, ia menyebutkan tidak sedikit penyandang disabilitas yang menggantungkan hidup dengan bekerja informal sebagai penjual kerupuk keliling.
Akan tetapi, cuaca panas ekstrem di siang hari akibat perubahan iklim pada akhirnya membuat mereka menjadi tidak sanggup berjualan setiap hari sehingga jelas berdampak pada turunnya pendapatan harian.
Contoh lain, ia menyebutkan tidak sedikit pula penyandang disabilitas di pelosok yang menjadi buruh cuci harian dengan mengandalkan sumber mata air terdekat dari tempat tinggalnya.
Ketika musim kering menjadi lebih lama akibat perubahan iklim, lanjut dia, disabilitas yang menjadi buruh harian tersebut harus mencari sumber mata air baru bila tidak ingin kehilangan mata pencahariannya.
“Sehingga mereka kehilangan waktu berjualan yang signifikan, bahkan kehilangan mata pencaharian. Karena seperti tadi saya tekankan, buat yang non-disabilitas masih ada banyak pilihan pekerjaan lain yang bisa dilakukan. Tapi buat disabilitas pilihannya saja sudah terbatas sejak awal. Jadi dampaknya terhadap finansial mereka jauh lebih signifikan,” jelasnya.
Baca juga: Bantuan Atensi Kemensos kembangkan usaha penyandang disabilitas
Baca juga: KND: Sedikit aduan bukan berarti minim kasus diskriminasi disabilitas
Baca juga: KND: Keberpihakan dan afirmasi bantu kelompok disabilitas naik kelas