Pakar: Pemerintah harus tegas terhadap pabrik sawit tanpa kemitraan
27 Maret 2024 21:41 WIB
Seorang karyawan mengoperasikan alat berat memindahkan cangkang sawit yang merupakan produk sampingan CPO di salah satu pabrik kelapa sawit Regional 3 PTPN IV PalmCo, Riau. (ANTARA/HO-PalmCo Regional 3)
Jakarta (ANTARA) - Sejumlah kalangan meminta pemerintah untuk mengambil tindakan tegas terhadap banyaknya bermunculan pabrik kelapa sawit tanpa kebun dan tidak memiliki kemitraan yang izinnya diberikan kepala daerah.
Pakar Ekonomi Universitas Riau, Prof. Dr. Almasdi Syahza mengatakan masalah izin pendirian pabrik kelapa sawit harus mengikuti aturan yang berlaku sebab jika tidak bakal menjadi masalah di kemudian hari.
"Dari sisi pertimbangan jarak antar pabrik, adanya kemitraan, dan daya dukung wilayah tentu menjadi acuan melalui sebuah studi kelayakan pabrik kelapa sawit (PKS)," katanya dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Hal itu menanggapi potensi obral izin pabrik kelapa sawit yang cenderung semakin tinggi menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dinilai tanpa mempertimbangkan daya dukung wilayah dan mengabaikan regulasi.
Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan disebutkan bahwa pabrik harus memiliki perkebunan sendiri, apabila tidak ada maka pabrik diwajibkan menjalin kemitraan dengan petani untuk memenuhi pasokan bahan baku 20 persen.
"Jika pemberian izin (pabrik sawit) dikaitkan dengan aktivitas politik tentu akan berdampak setelah pilkada 2024, umpama jika melanggar akan dikejar oleh lawan politik," tambah Almasdi.
Menurut dia, kehadiran pabrik sawit tanpa kebun jelas mengganggu tata niaga sawit yang sudah berjalan oleh karena itulah, pemerintah daerah dan pusat harus tegas dalam menjalankan regulasi.
Mantan Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah Rawing Rambang menambahkan pemerintah memang mengizinkan pabrik sawit tanpa kebun berdiri tetapi diwajibkan menjalin kemitraan dengan petani.
"Dengan adanya kemitraan inilah, pabrik sawit dapat mengetahui sumber buah sawitnya," katanya.
Menurut dia, kepala daerah baik itu bupati sampai gubernur harus memastikan kerjasama kemitraan antara pabrik tanpa kebun dengan petani sebelum izin pabriknya diterbitkan.
Di sinilah, lanjutnya, peran kepala daerah mengawasi dan memverifikasi adanya kerjasama tadi karena sangat berbahaya jika pemerintah daerah tidak mengetahuinya.
Dengan mengetahui kerja sama kemitraan, maka dapat diketahui kapasitas olah dan daya tampung pabrik untuk menerima pasokan panen TBS sawit dari masyarakat.
Sementara itu Pakar Ekonomi Lingkungan, Dr. Riyadi Mustofa menjelaskan pasca terbitnya UU Cipta Kerja maka proses pendirian pabrik sawit menjadi lebih ketat dari sisi lingkungan.
"Di sinilah peranan pemerintah daerah harus mengawasi perizinan Amdal bagi pabrik sawit yang akan dibangun agar tidak melanggar regulasi yang sudah berjalan," katanya.
Baca juga: Akademisi Untad sebut pabrik sawit perlu dibangun di Sulteng
Baca juga: PTPN V-RPN lakukan riset sistem sensorik, tingkatkan produksi CPO
Baca juga: DKI tegur pabrik kelapa sawit di Jakarta Utara
Baca juga: Wapres: Pembangunan pabrik kelapa sawit di Manokwari perlu dipercepat
Pakar Ekonomi Universitas Riau, Prof. Dr. Almasdi Syahza mengatakan masalah izin pendirian pabrik kelapa sawit harus mengikuti aturan yang berlaku sebab jika tidak bakal menjadi masalah di kemudian hari.
"Dari sisi pertimbangan jarak antar pabrik, adanya kemitraan, dan daya dukung wilayah tentu menjadi acuan melalui sebuah studi kelayakan pabrik kelapa sawit (PKS)," katanya dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Hal itu menanggapi potensi obral izin pabrik kelapa sawit yang cenderung semakin tinggi menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dinilai tanpa mempertimbangkan daya dukung wilayah dan mengabaikan regulasi.
Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan disebutkan bahwa pabrik harus memiliki perkebunan sendiri, apabila tidak ada maka pabrik diwajibkan menjalin kemitraan dengan petani untuk memenuhi pasokan bahan baku 20 persen.
"Jika pemberian izin (pabrik sawit) dikaitkan dengan aktivitas politik tentu akan berdampak setelah pilkada 2024, umpama jika melanggar akan dikejar oleh lawan politik," tambah Almasdi.
Menurut dia, kehadiran pabrik sawit tanpa kebun jelas mengganggu tata niaga sawit yang sudah berjalan oleh karena itulah, pemerintah daerah dan pusat harus tegas dalam menjalankan regulasi.
Mantan Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah Rawing Rambang menambahkan pemerintah memang mengizinkan pabrik sawit tanpa kebun berdiri tetapi diwajibkan menjalin kemitraan dengan petani.
"Dengan adanya kemitraan inilah, pabrik sawit dapat mengetahui sumber buah sawitnya," katanya.
Menurut dia, kepala daerah baik itu bupati sampai gubernur harus memastikan kerjasama kemitraan antara pabrik tanpa kebun dengan petani sebelum izin pabriknya diterbitkan.
Di sinilah, lanjutnya, peran kepala daerah mengawasi dan memverifikasi adanya kerjasama tadi karena sangat berbahaya jika pemerintah daerah tidak mengetahuinya.
Dengan mengetahui kerja sama kemitraan, maka dapat diketahui kapasitas olah dan daya tampung pabrik untuk menerima pasokan panen TBS sawit dari masyarakat.
Sementara itu Pakar Ekonomi Lingkungan, Dr. Riyadi Mustofa menjelaskan pasca terbitnya UU Cipta Kerja maka proses pendirian pabrik sawit menjadi lebih ketat dari sisi lingkungan.
"Di sinilah peranan pemerintah daerah harus mengawasi perizinan Amdal bagi pabrik sawit yang akan dibangun agar tidak melanggar regulasi yang sudah berjalan," katanya.
Baca juga: Akademisi Untad sebut pabrik sawit perlu dibangun di Sulteng
Baca juga: PTPN V-RPN lakukan riset sistem sensorik, tingkatkan produksi CPO
Baca juga: DKI tegur pabrik kelapa sawit di Jakarta Utara
Baca juga: Wapres: Pembangunan pabrik kelapa sawit di Manokwari perlu dipercepat
Pewarta: Subagyo
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2024
Tags: