Wellington (ANTARA) - Survei garis salju terbaru di Selandia Baru mengungkap "penyusutan berkelanjutan" pada gletser di negara itu.

Gletser di Selandia Baru tampak "hancur dan luluh" karena hilangnya es yang terus-menerus, kata Institut Penelitian Air dan Atmosfer Nasional (National Institute of Water and Atmospheric Research/NIWA) pada Senin (25/3).

NIWA telah terbang di atas pegunungan Selandia Baru untuk melakukan survei garis salju pada akhir musim panas, mengamati keadaan gletser dan ketinggian garis salju sejak 1970-an.

Penelitian ini memberikan gambaran tentang bagaimana lanskap Selandia Baru yang menakjubkan mengalami transformasi, kata Andrew Lorrey, pemimpin program sekaligus ilmuwan utama NIWA.

Secara keseluruhan, garis salju telah meningkat, dan dalam beberapa tahun terakhir peningkatan tersebut makin cepat, sehingga Selandia Baru terus mengalami tren hilangnya es glasial, kata Lorrey.

Lorrey mengaitkan hal itu dengan peningkatan suhu global, dengan delapan dari 10 tahun terpanas yang pernah dialami Selandia Baru sejak pencatatan dimulai terjadi dalam satu dekade terakhir.

Tahun 2023 menjadi tahun terpanas kedua yang pernah tercatat, sebuah tren yang juga terjadi di tempat-tempat lain di dunia, dengan 86 persen wilayah Bumi mengalami suhu di atas rata-rata pada tahun itu, kata Lorrey.

"Bahkan jika kita mengalami beberapa musim yang lebih dingin, itu tidak akan cukup untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi," lanjutnya.

Gletser merupakan bagian penting dari lingkungan, ekonomi, dan budaya Selandia Baru. Gletser adalah sumber air lelehan yang penting, yang menopang habitat sungai dan menyalurkan nutrisi ke danau, sungai, dan lautan. Gletser juga memasok air bagi danau-danau pembangkit listrik tenaga air, yang berdampak pada ketersediaan energi terbarukan, serta menyumbang jutaan dolar bagi ekonomi Selandia Baru melalui pariwisata, kata ilmuwan tersebut.

Selandia Baru merupakan salah satu dari sedikit tempat di garis lintang tengah yang penduduknya tinggal di dekat gletser, tempat orang-orang dapat melihat dan mengunjunginya dengan mudah. Namun, situasinya makin sulit. Operator pariwisata harus melakukan penetrasi makin jauh ke pegunungan untuk menjangkau gletser, tutur Lorrey.