Makkah (ANTARA News) - Matahari baru terbit, namun anak tangga menuju puncak gunung itu sudah ramai.
Orang tua, muda, yang gagah, hingga yang membutuhkan bantuan tongkat untuk melangkah, membaur. Kebanyakan mereka adalah jemaah haji yang belum kembali ke negara masing-masing.
Semua dengan tujuan yang sama, menuju puncak gunung, atau bukit setinggi 642 meter di atas permukaan laut itu, yang dikenal dengan sebutan Jabal Nur, Gunung Cahaya.
Mengapa mereka berbondong-bondong kesana? Mengapa gunung itu begitu penting?
Bagi umat Muslim, Jabal Nur menjadi situs penting karena di sanalah terletak Gua Hira, tempat Nabi Muhammad SAW menerima wahyu untuk pertama kalinya.
Di sanalah Muhammad bertemu dengan Malaikat Jibril, dan dikukuhkan kenabiannya.
Untuk mencapai titik itu, tidak mudah baginya.
Meskipun gunung itu tidak terlalu tinggi, namun tingkat kemiringan yang cukup tajam membuat pendaki harus berhati-hati. Berjalan menanjak dengan kemiringan talam tentu lebih melelahkan dibanding berjalan di medan yang landai.
Pada masa Nabi tentulah belum ada undak-undakan yang membantu memudahkan pendaki seperti sekarang.
Jalan setapak di gunung pasir dan bebatuan itu menanjak dan berkelok-kelok, tanpa sebatang pohon pun menaunginya.
Juga tidak ada pedagang yang menjajakan air minum. Saat ini, di beberapa lokasi bahkan menjadi pemberhentian yang cukup lapang bagi pedagang menggelar makanan dan minuman, ditambah gelaran karpet untuk pendaki beristirahat.
Pada jaman Nabi, pastilah belum ada semua itu. Ia harus membawa bekal makanan sendiri, apalagi jika hendak menginap di gua tersebut.
Namun, tempat yang sulit dicapai dan sederhana itu justru dipilih Nabi Muhammad untuk menyendiri, merenung, dan mendekatkan diri kepada Tuhan untuk kemudian menerima wahyu pertamanya, Surat Al Alaq 1-5, yang diawali dengan perintah membaca.
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."
"Perintah membaca itu ternyata diperoleh melalui proses yg tidak mudah. Subhanallah. Dalam usianya yang sudah tidak muda --40 tahun-- Rasul mendaki Jabal Nur untuk merenung di Gua Hira," kata Muhammad Khoiron seorang jemaah haji Indonesia usai mendaki Jabal Nur.
"Kegelisahan macam apa yang dirasakannya hingga memberi kekuatan begitu hebat baginya untuk berkontemplasi di puncak gunung terjal itu. Dan hasilnya adalah perintah membaca," katanya.
Menurut dia, Rasulullah harus melalui proses begitu berat untuk mendapat perintah membaca itu. "Ini menambah makna tentang betapa pentingnya membaca," tambah Khoiron.
Jemaah asal Indonesia lainnya, Nur Hasan mengaku merinding ketika membayangkan Nabi menerima wahyu untuk pertama kalinya di Gua Hira.
"Ternyata untuk mendapatkan hikmah dan pengetahuan ilahiah, Nabi bersusah payah juga, tempatnya di ujung gunung, bukan hal mudah mencapainya," kata jemaah yang akan segera kembali ke Tanah Air itu.
Bagi dia, perintah membaca membawa makna perintah untuk memperbaiki masyarakat.
"Bacalah, itu untuk membaca situasi masyarakat Arab yang jahiliyah, supaya bisa membedakannya dengan masyarakat beradab. Supaya membenahi akhlak masyarakat Arab yang waktu itu jahil," katanya.
Hari makin siang, matahari pun makin menyengat. Namun, pengunjung tidak berkurang. Jemaah dari seluruh penjuru dunia masih terus berdatangan dan saling menyapa. Kebanyakan sudah berumur, namun semua mendaki menuju puncak.
Setelah ribuan tahun berlalu, Jabal Nur telah berubah, Gua Hira semakin ramai dikunjungi peziarah, namun perintah membaca itu masih tetap sama.
(F005/Z003)
Jabal Nur dan betapa pentingnya membaca
31 Oktober 2013 05:36 WIB
Sejumlah orang berziarah di Gua Hira, Jabal Nur, Makkah. (FOTO ANTARA/Maha Eka Swasta)
Pewarta: Fitri Supratiwi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013
Tags: