USAID dukung riset resimen pengobatan untuk tangani TB pada anak
25 Maret 2024 22:21 WIB
TB Lead USAID Indonesia dr. Bey Sonata (kanan) pada konferensi pers tentang kolaborasi Amerika Serikat dan Indonesia untuk melawan TB di Kedutaan Besar Amerika, Jakarta, Senin (25/3/2024) dalam rangka memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia. (ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari)
Jakarta (ANTARA) - Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) mendukung riset pengembangan resimen pengobatan yang lebih efektif untuk menangani tuberkulosis (TB) pada anak.
"Indonesia kebetulan ikut dalam program global untuk mendorong riset ini, utamanya resimen pengobatan TB untuk anak, masih dalam tahap awal, tetapi tujuan utamanya adalah mencari resimen yang terbaik untuk anak-anak, kombinasi obatnya apa, dan durasi paling cepat yang mana," ujar TB Lead USAID Indonesia dr. Bey Sonata di Jakarta, Senin.
Konferensi pers tentang kolaborasi Amerika Serikat dan Indonesia untuk melawan TB diselenggarakan di Kedutaan Besar Amerika, Jakarta, dalam rangka memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia yang jatuh setiap tanggal 24 Maret.
Bey menjelaskan, setelah resimen pengobatan untuk anak ditemukan, maka hasilnya akan diuji coba, sehingga kasus-kasus pada TB anak bisa diterapi dengan obat yang lebih cocok.
"Langkah mencegah TB yang paling efektif sekarang itu menemukan yang sakit dengan cepat, dan mengobatinya sesegera mungkin, juga memastikan pengobatan atau pencegahan itu dapat diterima oleh semua orang yang eligible atau teridentifikasi," katanya.
Baca juga: AS danai obat pencegahan TB untuk Indonesia senilai 1,5 juta dolar
Selain itu, lanjut dia, pasien yang sudah teridentifikasi memiliki bakteri TB dalam tubuh juga mesti dipastikan bersedia ikut pengobatan sampai sembuh.
"Hanya itu cara yang efektif karena belum ada vaksinnya," ucapnya.
Ia juga menyampaikan, vaksin BCG pada anak untuk mencegah TB selama ini hanya efektif untuk mencegah meningitis atau infeksi otak, tetapi pada orang dewasa belum efektif.
"Jadi menahan agar bakteri TB cukup di paru-paru (anak-anak), tidak sampai naik ke otak," tuturnya.
Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya ini juga menegaskan bahwa target eliminasi TB di Indonesia di tahun 2030 yakni hanya 60 per 100.000 penduduk yang menderita TB.
"Untuk itu, strategi global untuk eliminasi TB itu harus ditemukan sedini mungkin sebelum dia (penderita) menularkan bakterinya, lalu diobati secara konsisten dan tidak putus, dan pekerjaan rumah kita itu memastikan bagaimana orang yang sudah dapat obat dapat menyelesaikannya sampai sembuh, karena kalau tidak dilanjutkan, dia tidak akan sembuh," paparnya.
Saat ini, lanjut dia, merokok adalah kasus yang berkontribusi paling besar ke tuberkulosis, sedangkan empat kondisi lain yang berkontribusi paling besar terhadap peningkatan TB yakni malnutrisi, HIV, diabetes, dan alkohol.
Untuk itu, ia menekankan pentingnya skrining TB pada orang yang berisiko tinggi dan memiliki daya tahan tubuh rendah, dengan paduan obat baru yang lebih cepat dan efektif pada kasus TB resisten obat.
"Skrining pada orang yang berisiko tinggi dengan ketahanan tubuh rendah misalnya penderita diabetes, HIV, dan lanjut usia sangat penting, juga pentingnya obat yang efektif, sekarang sudah ada pengobatan dari yang awalnya 11 bulan menjadi enam bulan saja, jadi perlu paduan kombinasi obat yang baru, utamanya untuk mengatasi TB resisten obat," demikian Bey Sonata.
Baca juga: Dokter bantah isu penyakit TB yang diderita anak-anak tidak menular
"Indonesia kebetulan ikut dalam program global untuk mendorong riset ini, utamanya resimen pengobatan TB untuk anak, masih dalam tahap awal, tetapi tujuan utamanya adalah mencari resimen yang terbaik untuk anak-anak, kombinasi obatnya apa, dan durasi paling cepat yang mana," ujar TB Lead USAID Indonesia dr. Bey Sonata di Jakarta, Senin.
Konferensi pers tentang kolaborasi Amerika Serikat dan Indonesia untuk melawan TB diselenggarakan di Kedutaan Besar Amerika, Jakarta, dalam rangka memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia yang jatuh setiap tanggal 24 Maret.
Bey menjelaskan, setelah resimen pengobatan untuk anak ditemukan, maka hasilnya akan diuji coba, sehingga kasus-kasus pada TB anak bisa diterapi dengan obat yang lebih cocok.
"Langkah mencegah TB yang paling efektif sekarang itu menemukan yang sakit dengan cepat, dan mengobatinya sesegera mungkin, juga memastikan pengobatan atau pencegahan itu dapat diterima oleh semua orang yang eligible atau teridentifikasi," katanya.
Baca juga: AS danai obat pencegahan TB untuk Indonesia senilai 1,5 juta dolar
Selain itu, lanjut dia, pasien yang sudah teridentifikasi memiliki bakteri TB dalam tubuh juga mesti dipastikan bersedia ikut pengobatan sampai sembuh.
"Hanya itu cara yang efektif karena belum ada vaksinnya," ucapnya.
Ia juga menyampaikan, vaksin BCG pada anak untuk mencegah TB selama ini hanya efektif untuk mencegah meningitis atau infeksi otak, tetapi pada orang dewasa belum efektif.
"Jadi menahan agar bakteri TB cukup di paru-paru (anak-anak), tidak sampai naik ke otak," tuturnya.
Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya ini juga menegaskan bahwa target eliminasi TB di Indonesia di tahun 2030 yakni hanya 60 per 100.000 penduduk yang menderita TB.
"Untuk itu, strategi global untuk eliminasi TB itu harus ditemukan sedini mungkin sebelum dia (penderita) menularkan bakterinya, lalu diobati secara konsisten dan tidak putus, dan pekerjaan rumah kita itu memastikan bagaimana orang yang sudah dapat obat dapat menyelesaikannya sampai sembuh, karena kalau tidak dilanjutkan, dia tidak akan sembuh," paparnya.
Saat ini, lanjut dia, merokok adalah kasus yang berkontribusi paling besar ke tuberkulosis, sedangkan empat kondisi lain yang berkontribusi paling besar terhadap peningkatan TB yakni malnutrisi, HIV, diabetes, dan alkohol.
Untuk itu, ia menekankan pentingnya skrining TB pada orang yang berisiko tinggi dan memiliki daya tahan tubuh rendah, dengan paduan obat baru yang lebih cepat dan efektif pada kasus TB resisten obat.
"Skrining pada orang yang berisiko tinggi dengan ketahanan tubuh rendah misalnya penderita diabetes, HIV, dan lanjut usia sangat penting, juga pentingnya obat yang efektif, sekarang sudah ada pengobatan dari yang awalnya 11 bulan menjadi enam bulan saja, jadi perlu paduan kombinasi obat yang baru, utamanya untuk mengatasi TB resisten obat," demikian Bey Sonata.
Baca juga: Dokter bantah isu penyakit TB yang diderita anak-anak tidak menular
Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024
Tags: