Airlangga: Keputusan PPN 12 persen tergantung pemerintahan selanjutnya
22 Maret 2024 18:17 WIB
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memberi keterangan pada konferensi pers Rapat Koordinasi Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) di Jakarta, Jumat (22/3/2024). ANTARA/Bayu Saputra/aa.
Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai penetapan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen tergantung dari keputusan pemerintahan selanjutnya.
“Tergantung pemerintah (selanjutnya), programnya nanti seperti apa,” kata Menko Airlangga usai Rapat Koordinasi Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) di Jakarta, Jumat.
Airlangga menjelaskan bahwa rencana kenaikan PPN 12 persen sebelumnya telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Jika pemerintahan selanjutnya sepakat untuk menaikkan PPN, maka penyesuaian tersebut akan dimasukkan dalam Undang-Undang Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (UU APBN) 2025.
“Jadi selama ini, UU HPP bunyinya demikian, tetapi mengenai apa yang diputus pemerintah nanti pemerintah akan memasukkan itu ke dalam UU APBN, jadi kita lihat saja,” ujarnya.
Hingga saat ini, dia menyebut belum ada pembahasan lebih lanjut terkait kenaikan PPN 12 persen.
Adapun dalam UU HPP disebutkan bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen yang sudah berlaku pada 1 April 2022 lalu, dan kembali dinaikkan 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.
Dalam pasal 7 ayat 3, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan yang paling tinggi 15 persen.
Ekonom Center of Macroeconomics & Finance Indef Abdul Manap Pulungan menilai rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Menurut dia, naiknya tarif PPN akan berimbas pada kecenderungan masyarakat untuk lebih berhemat mengingat harga barang dan jasa yang turut naik. Hal tersebut dikhawatirkan semakin menekan indikator konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penyumbang produk domestik bruto (PDB) utama.
Komponen non makanan diprediksi menjadi komponen konsumsi yang paling terdampak adanya kenaikan PPN 12 persen nanti, yaitu kelompok transportasi dan komunikasi, serta restoran dan hotel.
"Ini khawatirnya ketika PPN itu naik, orang-orang cenderung menahan plesiran, yang pada akhirnya menyebabkan sektor-sektor konsumsi yang bukan kebutuhan pokok itu menurun," ujar Abdul dalam Diskusi Publik Indef 'PPN Naik, Beban Rakyat Naik' yang digelar virtual di Jakarta, Rabu lalu.
“Tergantung pemerintah (selanjutnya), programnya nanti seperti apa,” kata Menko Airlangga usai Rapat Koordinasi Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) di Jakarta, Jumat.
Airlangga menjelaskan bahwa rencana kenaikan PPN 12 persen sebelumnya telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Jika pemerintahan selanjutnya sepakat untuk menaikkan PPN, maka penyesuaian tersebut akan dimasukkan dalam Undang-Undang Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (UU APBN) 2025.
“Jadi selama ini, UU HPP bunyinya demikian, tetapi mengenai apa yang diputus pemerintah nanti pemerintah akan memasukkan itu ke dalam UU APBN, jadi kita lihat saja,” ujarnya.
Hingga saat ini, dia menyebut belum ada pembahasan lebih lanjut terkait kenaikan PPN 12 persen.
Adapun dalam UU HPP disebutkan bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen yang sudah berlaku pada 1 April 2022 lalu, dan kembali dinaikkan 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.
Dalam pasal 7 ayat 3, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan yang paling tinggi 15 persen.
Ekonom Center of Macroeconomics & Finance Indef Abdul Manap Pulungan menilai rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Menurut dia, naiknya tarif PPN akan berimbas pada kecenderungan masyarakat untuk lebih berhemat mengingat harga barang dan jasa yang turut naik. Hal tersebut dikhawatirkan semakin menekan indikator konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penyumbang produk domestik bruto (PDB) utama.
Komponen non makanan diprediksi menjadi komponen konsumsi yang paling terdampak adanya kenaikan PPN 12 persen nanti, yaitu kelompok transportasi dan komunikasi, serta restoran dan hotel.
"Ini khawatirnya ketika PPN itu naik, orang-orang cenderung menahan plesiran, yang pada akhirnya menyebabkan sektor-sektor konsumsi yang bukan kebutuhan pokok itu menurun," ujar Abdul dalam Diskusi Publik Indef 'PPN Naik, Beban Rakyat Naik' yang digelar virtual di Jakarta, Rabu lalu.
Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Nurul Aulia Badar
Copyright © ANTARA 2024
Tags: