Jakarta (ANTARA News) - Menurut legenda, asal-usul Danau Toba adalah dari Putri Ikan yang berubah menjadi manusia. Ini pula yang menjadi tema lakon "Perempuan di Pinggir Danau".
Putri Ikan, yang belakangan diberi nama Sondang Nauli (Nominanda Sagala) terpikat permainan suling Samosir (Ojax Manalu) sehingga ia memaksa Inong (Rinda Turnip) agar diizinkan ke darat untuk bertemu sang peniup suling.
Sang Ibu semula melarang, tetapi akhirnya mengizinkannya karena merasa sudah waktunya Sondang Nauli menjaga kelestarian alam, tanah, dan air.
Seperti yang telah diketahui, Samosir mendapat ikan besar yang dibawanya pulang ke rumah. Pagi harinya, ia menemukan ikan telah berubah menjadi Sondang Nauli yang cantik dan mereka pun
menikah.
Mereka pun memiliki keturunan anak laki-laki yang diberi nama Toba.
Suatu hari, sepulang ayahnya bekerja di ladang, Toba menangis meminta maaf karena telah berbuat salah.
Samosir yang sangat marah melanggar janjinya kepada sang istri, tidak mengungkap dari mana Sondang Nauli berasal. Dalam kemarahannya, Samosir berkata bahwa ibu Toba adalah seekor ikan.
Janji dilanggar, dan Samosir pun tidak dapat memegang janji lainnya untuk menjaga kelestarian Danau Toba. Perempuan pun menangis..
Air dan Perempuan
Lakon karya Lena Simanjuntak-Mertes itu dimainkan Pusat Latihan Opera Batak (PLOt0) Universitas Kristen Indonesia (UKI), kampus Cawang, Jakarta Timur pada 25-26 Oktober 2013.
Lena menjadikan perempuan sebagai fokus dalam lakonnya karena, menurutnya, air Danau Toba dekat dengan perempuan.
Thompson Hutasoit, Direktur Artistik PLOt bercerita, sejak pukul empat pagi, perempuan berdatangan ke
Danau Toba untuk mengambil air untuk konsumsi sehari-hari, seperti minum, mandi, dan mencuci pakaian.
"Danau Toba memang sumber air dari dulu," kata seniman kelahiran Tarutung itu sebelum pagelaran itu, Sabtu sore lalu.
Lena menggabungkan legenda Danau Toba dengan potret kekinian di danau yang terbentuk akibat letusan gunung itu.
Melalui tokoh Samosir yang lugu, ia menceritakan Danau Toba kini tidak lagi jernih, banyak keramba untuk menangkap ikan.
Samosir yang awalnya memancing pun hanya mendapat satu-dua ikan kini memilih bekerja sebagai penjaga keramba dan mendapat gaji untuk itu.
Perempuanlah, menurut Lena, yang paling merasakan perubahan air di danau itu. "Perempuan dan air adalah sumber kehidupan," kata Lena, usai pentas malam ini.
Saat mengandung, perempuan adalah sumber kehidupan bagi janin yang dikandungnya. Sementara air merupakan sumber kehidupan bagi
manusia umumnya.
Ketika air danau berubah menjadi tidak jernih lagi, perempuan kesulitan mendapat air bersih.
Tepi danau pun kini telah menjadi kepemilikan orang lain sehingga perempuan, bahkan untuk sekadar datang ke danau pun, kesulitan.
"Makanya saya pilih pakai kata 'pinggir', dari pada 'tepi'. Interpretasi 'pinggir', bisa juga 'terpinggirkan'," jelas Lena.
Bagi Lena, pencemaran di Danau Toba tidak hanya berdampak pada kelestarian lingkungan, tetapi juga perempuan. "Ya, menyakiti perempuan".
"Borua Nadi Duru Ni Tao", "Perempuan di Pinggir Danau", dipentaskan secara keliling di Medan, Pematangsiantar, Balige, Yogyakarta, Solo, dan Jakarta sejak Agustus silam.
Lena juga membukukan naskah drama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Batak Toba, dan juga ditulis dalam aksara Batak ini.
Perempuan dan air dalam opera Batak
Oleh Natisha Andarningtyas
27 Oktober 2013 02:52 WIB
Seorang gadis mencuci pakaian di Danau Toba (ANTARA/Septianda Perdana)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013
Tags: