"Pertama, terkait dengan pemilihan lokasi dan hotel. Para event planner diharapkan dapat memprioritaskan lokasi dan hotel yang memiliki paket pertemuan berkonsep hijau dan mengantongi sertifikat di bidang lingkungan seperti green building, ASEAN Green Hotel Standard, atau environmental management system (EMS)," ujar Staf Ahli Bidang Pengembangan Usaha Kemenparekraf Masruroh di Jakarta, Rabu.
Selain itu, lanjut dia, jarak antara lokasi acara dengan hotel tempat menginap dapat ditempuh dengan berjalan kaki sehingga dapat mengurangi produksi karbon.
Kedua, pemilihan transportasi. Apabila harus terbang ke sebuah destinasi, sebaiknya memilih penerbangan langsung untuk mengurangi emisi karbon, serta dianjurkan menggunakan transportasi publik atau memakai kendaraan listrik.
Ketiga, makanan dan minuman (food and beverage) yang disajikan sebaiknya menggunakan bahan baku lokal guna mengurangi emisi karbon, serta penyajian tidak lagi menggunakan air dalam kemasan botol plastik atau kertas dan memilih bahan baku organik.
Keempat, pemanfaatan teknologi. Misalnya materi seminar tak lagi dicetak di atas kertas, melainkan diberikan dalam bentuk softcopy dan tak lagi mencetak backdrop untuk dekorasi ruangan, tapi dianjurkan menggunakan teknologi LCD, dan menggunakan peralatan yang hemat energi.
Kelima, pengelolaan limbah. Terkait sampah, ternyata produksi sampah sebuah kegiatan MICE itu terbilang tak sedikit. Dilansir dari Atlantis Press, berdasarkan riset yang dilakukan oleh International Exhibition Alliance di UK pada 2001 bahwa produksi sampah rerata sebuah pameran itu mencapai 2.900 ton. Hasil riset itu juga menyebutkan bahwa biaya pengelolaan sampah dari 823 pameran di UK selama tahun 2001 mencapai 730 juta dolar AS atau sekitar Rp10,9 triliun.
Baca juga: Menparekraf promosikan destinasi MICE Indonesia dalam gelaran AIME
Baca juga: Kemenparekraf: Industri MICE tumbuh 12-15 persen di kuartal III 2023