Operasi gabungan dilancarkan terhadap militan Mali
25 Oktober 2013 03:10 WIB
Ratusan tentara Chad membentuk barisan dengan kendaraan mereka di kota timur laut Kidal, Mali, Kamis (7/2). Sebanyak 1.000 pasukan dari Chad yang dipimpin putra presiden bergerak maju menuju pegunungan bagian timur laut Mali untuk bergabung dengan pasukan Prancis dalam pencarian dan penghancuran pejihad Islam. (REUTERS/Cheick Diouara)
Paris (ANTARA News) - Pasukan gabungan Prancis, PBB dan Mali melancarkan operasi besar-besaran untuk mencegah kebangkitan kembali militan di negara Afrika itu, kata militer Prancis, Kamis.
"Kami, bersama-sama tentara Mali dan MINUSMA (misi PBB), melakukan operasi besar-besaran," di Mali utara, kata juru bicara staf umum Prancis, Kolonel Gilles Jaron, lapor AFP.
"Baru pertama kali ini kami melihat pasukan dalam jumlah besar melakukan operasi bersama," kata Jaron.
Ia menyatakan ratusan prajurit Prancis terlibat dalam operasi itu namun menolak menyebutkan jumlah pasti atau rincian mengenai pasukan lain yang mengambil bagian.
Sasaran misi yang bersandi "Hydra" itu adalah "menekan setiap pergerakan `teroris` untuk mencegah kebangkitan kembali mereka," katanya.
"Ini adalah salah satu operasi yang dilakukan secara tetap... untuk mengambil bagian dalam stabilisasi negara itu," tambahnya.
Tidak jelas kapan operasi itu mulai dilakukan, namun pengumuman itu disampaikan setelah dua prajurit Chad PBB dan seorang warga sipil tewas dalam serangan di Mali utara pada Rabu.
Militan yang terkait dengan Al Qaida menyatakan mendalangi serangan itu, yang dilakukan terhadap sebuah pos pemeriksaan PBB di kota Tessalit.
Dewan Keamanan PBB mengecam serangan itu, yang terjadi setelah permintaan darurat misi PBB bagi penambahan pasukan di Mali.
Presiden baru Mali Ibrahim Boubacar Keita yang terpilih pada Agustus telah berjanji keamanan menjadi prioritas utamanya ketika negara itu memerangi sisa-sisa militan yang menduduki wilayah utara selama lebih dari sembilan bulan.
Akhir bulan lalu, sedikitnya empat orang tewas dan beberapa lain cedera dalam serangan bom mobil bunuh diri di Timbuktu, sebuah kota lain di Mali utara yang sebelumnya diduduki militan.
Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.
Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.
Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu.
Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.
Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret 2012 dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.
Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.
PBB telah menyetujui penempatan pasukan penjaga perdamaian berkekuatan sekitar 12.600 prajurit untuk membantu menstabilkan dan mengamankan Mali.
Penerjemah: Memet Suratmadi
"Kami, bersama-sama tentara Mali dan MINUSMA (misi PBB), melakukan operasi besar-besaran," di Mali utara, kata juru bicara staf umum Prancis, Kolonel Gilles Jaron, lapor AFP.
"Baru pertama kali ini kami melihat pasukan dalam jumlah besar melakukan operasi bersama," kata Jaron.
Ia menyatakan ratusan prajurit Prancis terlibat dalam operasi itu namun menolak menyebutkan jumlah pasti atau rincian mengenai pasukan lain yang mengambil bagian.
Sasaran misi yang bersandi "Hydra" itu adalah "menekan setiap pergerakan `teroris` untuk mencegah kebangkitan kembali mereka," katanya.
"Ini adalah salah satu operasi yang dilakukan secara tetap... untuk mengambil bagian dalam stabilisasi negara itu," tambahnya.
Tidak jelas kapan operasi itu mulai dilakukan, namun pengumuman itu disampaikan setelah dua prajurit Chad PBB dan seorang warga sipil tewas dalam serangan di Mali utara pada Rabu.
Militan yang terkait dengan Al Qaida menyatakan mendalangi serangan itu, yang dilakukan terhadap sebuah pos pemeriksaan PBB di kota Tessalit.
Dewan Keamanan PBB mengecam serangan itu, yang terjadi setelah permintaan darurat misi PBB bagi penambahan pasukan di Mali.
Presiden baru Mali Ibrahim Boubacar Keita yang terpilih pada Agustus telah berjanji keamanan menjadi prioritas utamanya ketika negara itu memerangi sisa-sisa militan yang menduduki wilayah utara selama lebih dari sembilan bulan.
Akhir bulan lalu, sedikitnya empat orang tewas dan beberapa lain cedera dalam serangan bom mobil bunuh diri di Timbuktu, sebuah kota lain di Mali utara yang sebelumnya diduduki militan.
Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.
Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.
Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu.
Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.
Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret 2012 dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.
Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.
PBB telah menyetujui penempatan pasukan penjaga perdamaian berkekuatan sekitar 12.600 prajurit untuk membantu menstabilkan dan mengamankan Mali.
Penerjemah: Memet Suratmadi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013
Tags: