Jakarta (ANTARA) - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi mengatakan pengobatan bagi penderita TBRO (Tuberkulosis Resisten Obat) perlu dibuat lebih ringkas, lebih aman, lebih baik, guna mencegah silent pandemic akibat penyakit itu.

Menurut Imran, hal tersebut dapat terjadi karena pengobatan TBRO yang begitu rumit, karena ada puluhan obat yang perlu dikonsumsi sehingga orang menjadi enggan untuk berobat.

"Setiap hari itu orang harus, tanda kutip sarapan, sarapan tablet, satu genggam gitu ya. Jadi ini yang membuat kita jadi 'kayaknya kok nggak manusiawi gitu ya'. Orang disuruh berobat tapi makannya sampai satu genggam obat," ujarnya dalam acara "Pengobatan TBC RO, Kini Sembuh Lebih Cepat" yang disiarkan di kanal YouTube TB Indonesia di Jakarta, Rabu.

TBRO adalah jenis tuberkulosis akibat bakteri Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap pengobatan TBC.

Baca juga: Kemenkes: Perlu kerja sama untuk mengatasi masalah TBRO di Indonesia

Dia menuturkan bagi sebagian orang minum obat sebanyak itu menjadi sebuah tantangan tersendiri, sehingga ada yang tidak tahan dalam menjalani proses penyembuhan itu. Terlebih lagi, kata dia, ada masalah efek samping yang dapat muncul karena adanya reaksi-reaksi tertentu dari obat-obatan itu.

Imran menuturkan pada 2023 sebanyak 77 persen dari estimasi 1.092.000 kasus TBC yaitu sekitar 821 ribu kasus ditemukan di Indonesia. Sementara itu dari estimasi kasus TBRO sebanyak 28 hingga 30 ribu, baru 12.215 yang terdeteksi.

"Jadi enggak sampai separuh yang ketemu. Ini juga jadi masalah karena yang ketemu hanya separuh, yang lain belum ketemu. Sehingga kalau mereka menularkan ke orang lain, yang ketularan sudah langsung kena TBRO," ujarnya.

Dia menyebutkan pada 2023 target pengobatan kasus TBRO di Indonesia adalah 90 persen, sedangkan baru 73 persen tercatat melakukan pengobatan. Dia juga menambahkan pada target kesuksesan pengobatan TBRO 2023 yaitu 80 persen, baru 55 persen kesuksesan pengobatan tercatat.

Baca juga: Kemenkes: edukasi penting untuk singkirkan stigma tentang TBC

Pemerintah, lanjutnya, menargetkan pengobatan kasus TBRO sebanyak 95 persen pada 2024.

Dia menjelaskan apabila pengobatan TBRO dapat dibuat sesederhana mungkin, maka penanganan dapat diberikan di tingkat pelayanan primer, seperti pusat kesehatan masyarakat. Menurutnya, ada sejumlah hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Pertama, memastikan kualitas akses pelayanan kesehatan bagi penderita TBSO (Tuberkulosis Sensitif Obat) agar tidak semakin parah dan menjadi TBRO.

"Karena sebagian besar orang jadi TBRO karena pada saat diobati SO-nya itu dia belum selesai," ucapnya.

Selanjutnya adalah akses pelayanan universal pengobatan TBRO, meningkatkan manajemen dan kepemilikan layanan TBRO di semua tingkat, memperkuat komitmen politis, serta implementasi penggunaan paduan obat baru.

Sebagai upaya dalam penanganan TBRO, kata dia, Kemenkes juga mengeluarkan sejumlah surat keputusan untuk perluasan pelayanan kesehatan.

Baca juga: Kemenkes: Kolaborasi penting guna eliminasi TBC cegah isu multiaspek