Jakarta (ANTARA) - Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof Ma’mun Murod Al Barbasy menekankan pentingnya dakwah kultural di negara demokrasi, termasuk Indonesia.

"Ada kegelisahan politik dan sosiologis sehingga untuk menjawab bagaimana melakukan perluasan basis di akar rumput, maka jawaban yang dinilai tepat adalah dengan penguatan dakwah kultural," kata Ma’mun dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.

Menurutnya, dakwah kultural penting untuk menjawab kegelisahan politik di Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, sehingga Muhammadiyah perlu memperbanyak jumlah personel yang mau memasifkan dakwah kultural.

Untuk menjawab kegelisahan sosiologis, lanjutnya, dakwah kultural juga diperlukan, karena berdasarkan data salah satu lembaga survei menyebutkan jumlah warga terafiliasi Muhammadiyah hanya 5,7 persen, lebih kecil dibandingkan dengan organisasi Islam mapan lainnya.

Baca juga: Adnan Anwar: Dakwah kultural menjaga harmoni dalam beragama
"Secara substansi, dakwah kultural dimaksudkan untuk melakukan dua hal. Pertama melakukan dinamisasi yaitu sebagai reaksi dari budaya yang memiliki kecenderungan untuk berkembang dan berubah ke arah yang lebih baik," ucapnya.

Dalam konteks tersebut, lanjut dia, berlaku kaidah fikih melestarikan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik. Kaidah fikih tersebut tidak hanya milik kelompok tertentu, karena sudah ada jauh sebelum adanya organisasi Islam modern.

"Substansi kedua dari dakwah kultural adalah purifikasi atau melakukan pemurnian nilai-nilai tauhid. Bahkan dalam konteks historis dan sosiologis, dakwah kultural yang dilakukan oleh Muhammadiyah memiliki sanad sampai Rasulullah Muhammad," tuturnya.

Ia juga memaparkan penamaan Idul Adha dan Idul Fitri juga berasal dari tradisi Quraisy lama atau masa-masa sebelum Islam masuk di negara Arab.

Baca juga: Cak Nun: Masyarakat Butuh Dakwah Kultural
"Termasuk penamaan Idul Adha, Idul Fitri juga berasal dari tradisi Quraisy lama, Arab pra Islam, kemudian dimodifikasi oleh Rasulullah, tentu nilai yang masuk berbeda dengan era sebelumnya," kata Ma'mun.

Tak hanya itu, menurut dia, tradisi juga bisa dijadikan sebagai dasar hukum yang dalam Ushul Fiqih disebut dengan istilah Al Urf.

"Maka ketika mereaktualisasi dakwah kultural tidak perlu canggung, sebab konsep dakwah ini memiliki sanad yang jelas. Selain itu dakwah kultural telah melekat dengan Muhammadiyah," kata dia.

Pada masa awal Muhammadiyah bergerak, kata dia, dakwahnya masih cair sehingga model dakwah seperti itu menjadikan Muhammadiyah diterima di banyak tempat di Indonesia sejak tahun 1920-an.

Baca juga: AMM: Liga bola HW juga untuk dakwah kultural