Menko Polhukam: RI waspadai konflik terbuka di Laut China Selatan
19 Maret 2024 21:58 WIB
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Marsekal TNI (Purn.) Hadi Tjahjanto berpidato dalam acara diskusi terkait Laut China Selatan yang digelar oleh Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) di Jakarta, Selasa (19/3/2024). ANTARA/HO-Dokumentasi Kemenko Polhukam RI.
Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto menyebut Indonesia terus mewaspadai munculnya konflik terbuka di Laut China Selatan mengingat adanya sejumlah insiden di perairan sengketa itu dalam beberapa tahun terakhir.
Hadi menilai potensi konflik selalu ada karena ada tumpang tindih klaim kepemilikan wilayah di Laut China Selatan, terlebih China memaksakan klaim sepihak atas seluruh wilayah Laut China Selatan yang mengacu pada sejarah (nine-dash lines).
“Kita juga mencatat seringnya terjadi insiden di wilayah Laut China Selatan yang apabila tidak dikelola dengan baik akan dapat memicu konflik terbuka,” kata Hadi saat berpidato dalam acara diskusi terkait Laut China Selatan yang digelar Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) di Jakarta, Selasa.
Oleh karena itu, Indonesia, yang wilayahnya di Laut Natuna Utara juga menjadi bagian dari Laut China Selatan, juga berkepentingan untuk mengelola sengketa itu agar situasi tetap damai dan kondusif.
Namun, tujuan itu pun saat ini menghadapi tantangan mengingat China secara sepihak juga mengeluarkan peta negaranya yang menambah sembilan garis putus-putus itu (nine-dash lines) menjadi 10 (ten-dash lines). Klaim itu pun tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia, tepatnya di Laut Natuna Utara.
Tidak hanya itu, Hadi menilai sengketa menjadi kian rumit karena rivalitas antara dua negara adidaya, China dan Amerika Serikat pun menguat. China, satu sisi, semakin agresif menempatkan kapal-kapal coastguard-nya di perairan-perairan sengketa, sementara AS pun juga membangun pakta pertahanan, yaitu AUKUS (AS, Inggris, Australia) dan QUAD (AS, India, Jepang, dan Australia) untuk membendung pengaruh China.
Terkait situasi itu, Hadi menyebut Indonesia berkewajiban menjalankan mandat pembukaan UUD 1945, yang di antaranya memelihara perdamaian dunia.
“Kita tidak ingin melihat wilayah Laut China Selatan justru dijadikan ajang proyeksi kekuatan negara major powers (negara adidaya, red.) dan menjadi episentrum konflik. Kita harus mampu mengubah Laut China Selatan menjadi sea of peace,” kata Menko Polhukam RI.
Dia melanjutkan Indonesia sejauh ini aktif mendorong negara-negara yang bersengketa untuk segera menyepakati tata perilaku (code of conduct/CoC) di Laut China Selatan.
“Atas inisiatif dan dorongan Indonesia sebagai Ketua ASEAN pada 2023, ASEAN dan China berhasil menyepakati percepatan perundingan CoC. Kita menargetkan CoC dapat difinalisasi dalam kurun waktu tiga tahun, yaitu pada 2025,” kata Hadi.
Hadi optimistis jika dokumen itu berhasil disepakati, maka itu akan menjadi dasar untuk meningkatkan rasa saling percaya (mutual trust) terutama dalam mengelola sengketa dan konflik di Laut China Selatan.
Hadi menilai potensi konflik selalu ada karena ada tumpang tindih klaim kepemilikan wilayah di Laut China Selatan, terlebih China memaksakan klaim sepihak atas seluruh wilayah Laut China Selatan yang mengacu pada sejarah (nine-dash lines).
“Kita juga mencatat seringnya terjadi insiden di wilayah Laut China Selatan yang apabila tidak dikelola dengan baik akan dapat memicu konflik terbuka,” kata Hadi saat berpidato dalam acara diskusi terkait Laut China Selatan yang digelar Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) di Jakarta, Selasa.
Oleh karena itu, Indonesia, yang wilayahnya di Laut Natuna Utara juga menjadi bagian dari Laut China Selatan, juga berkepentingan untuk mengelola sengketa itu agar situasi tetap damai dan kondusif.
Namun, tujuan itu pun saat ini menghadapi tantangan mengingat China secara sepihak juga mengeluarkan peta negaranya yang menambah sembilan garis putus-putus itu (nine-dash lines) menjadi 10 (ten-dash lines). Klaim itu pun tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia, tepatnya di Laut Natuna Utara.
Tidak hanya itu, Hadi menilai sengketa menjadi kian rumit karena rivalitas antara dua negara adidaya, China dan Amerika Serikat pun menguat. China, satu sisi, semakin agresif menempatkan kapal-kapal coastguard-nya di perairan-perairan sengketa, sementara AS pun juga membangun pakta pertahanan, yaitu AUKUS (AS, Inggris, Australia) dan QUAD (AS, India, Jepang, dan Australia) untuk membendung pengaruh China.
Terkait situasi itu, Hadi menyebut Indonesia berkewajiban menjalankan mandat pembukaan UUD 1945, yang di antaranya memelihara perdamaian dunia.
“Kita tidak ingin melihat wilayah Laut China Selatan justru dijadikan ajang proyeksi kekuatan negara major powers (negara adidaya, red.) dan menjadi episentrum konflik. Kita harus mampu mengubah Laut China Selatan menjadi sea of peace,” kata Menko Polhukam RI.
Dia melanjutkan Indonesia sejauh ini aktif mendorong negara-negara yang bersengketa untuk segera menyepakati tata perilaku (code of conduct/CoC) di Laut China Selatan.
“Atas inisiatif dan dorongan Indonesia sebagai Ketua ASEAN pada 2023, ASEAN dan China berhasil menyepakati percepatan perundingan CoC. Kita menargetkan CoC dapat difinalisasi dalam kurun waktu tiga tahun, yaitu pada 2025,” kata Hadi.
Hadi optimistis jika dokumen itu berhasil disepakati, maka itu akan menjadi dasar untuk meningkatkan rasa saling percaya (mutual trust) terutama dalam mengelola sengketa dan konflik di Laut China Selatan.
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024
Tags: