Marzuki Alie tidak bawa dokumen saat diperiksa KPK
22 Oktober 2013 11:56 WIB
Ketua DPR Marzuki Alie menjawab pertanyaan wartawan saat memenuhi panggilan KPK, di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (22/10). Marzuki diperiksa sebagai saksi untuk tersangka dugaan pemberian gratifikasi Anas Urbaningrum terkait proyek Hambalang. (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean)
Jakarta (ANTARA News) - Ketua DPR Marzuki Alie tidak membawa dokumen saat diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus Hambalang dengan tersangka mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
"Saya tidak pernah bersentuhan dengan kasus Hambalang, jadi tidak ada satu dokumen pun, selembar pun, tidak ada satu lembar dokumen pun karena saya tidak pernah bersentuhan dengan masalah Hambalang," kata Marzuki saat datang ke gedung KPK Jakarta sekitar pukul 10.00 WIB, Selasa.
Meski tidak mengerti persoalan Hambalang, Marzuki tetap berpikir positif mengenai pemanggilannya tersebut.
"Saya tidak mengerti juga tapi saya berpikir positif saja dalam rangka pemberantasan korupsi, sebagai bentuk komitmen saya untuk ikut bersama-sama memberantas korupsi di negara Indonesia yang kita cintai," tambah Marzuki.
Namun politisi asal Partai Demokrat tersebut tidak mengetahui mengenai aliran dana dari Hambalang yang diduga masuk ke Kongres Partai Demokrat di Bandung pada 2010 tersebut.
"Soal (kongres) itu saya tidak mengerti, kalau mendengar (aliran dana) iya, tapi saya tidak perlu tahu," ungkap Marzuki.
Sementara itu, KPK sedang menggali informasi mengenai sumber pendanaan Kongres Partai Demokrat 2010. Ini dibenarkan oleh mantan ketua kongres Partai Demokrat Didik Mukrianto yang mengatakan bahwa dirinya telah ditanya soal pembiayaan kongres.
Marzuki pada kongres tersebut menjadi calon ketua Partai Demokrat bersama dengan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng dan Anas Urbaningrum.
Selain Marzuki, KPK juga menjadwalkan pemeriksaan staf di Sekretariat Partai Demokrat, Eva Ompita Soraya dan Iwan Hadiwaluyo, serta Komisaris PT Methapora Solusi Muh Arifin.
Dalam kasus ini Anas ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Februari 2012 berdasarkan pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU no 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU no 20 tahun 2001 tentang penyelenggara negara yang menerima suap atau gratifikasi dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat-20 tahun dan pidana denda Rp200 juta-Rp1 miliar.
"Saya tidak pernah bersentuhan dengan kasus Hambalang, jadi tidak ada satu dokumen pun, selembar pun, tidak ada satu lembar dokumen pun karena saya tidak pernah bersentuhan dengan masalah Hambalang," kata Marzuki saat datang ke gedung KPK Jakarta sekitar pukul 10.00 WIB, Selasa.
Meski tidak mengerti persoalan Hambalang, Marzuki tetap berpikir positif mengenai pemanggilannya tersebut.
"Saya tidak mengerti juga tapi saya berpikir positif saja dalam rangka pemberantasan korupsi, sebagai bentuk komitmen saya untuk ikut bersama-sama memberantas korupsi di negara Indonesia yang kita cintai," tambah Marzuki.
Namun politisi asal Partai Demokrat tersebut tidak mengetahui mengenai aliran dana dari Hambalang yang diduga masuk ke Kongres Partai Demokrat di Bandung pada 2010 tersebut.
"Soal (kongres) itu saya tidak mengerti, kalau mendengar (aliran dana) iya, tapi saya tidak perlu tahu," ungkap Marzuki.
Sementara itu, KPK sedang menggali informasi mengenai sumber pendanaan Kongres Partai Demokrat 2010. Ini dibenarkan oleh mantan ketua kongres Partai Demokrat Didik Mukrianto yang mengatakan bahwa dirinya telah ditanya soal pembiayaan kongres.
Marzuki pada kongres tersebut menjadi calon ketua Partai Demokrat bersama dengan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng dan Anas Urbaningrum.
Selain Marzuki, KPK juga menjadwalkan pemeriksaan staf di Sekretariat Partai Demokrat, Eva Ompita Soraya dan Iwan Hadiwaluyo, serta Komisaris PT Methapora Solusi Muh Arifin.
Dalam kasus ini Anas ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Februari 2012 berdasarkan pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU no 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU no 20 tahun 2001 tentang penyelenggara negara yang menerima suap atau gratifikasi dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat-20 tahun dan pidana denda Rp200 juta-Rp1 miliar.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2013
Tags: