Jakarta (ANTARA News) - Terdakwa suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian dan tindak pidana pencucian uang Ahmad Fathanah dituntut tujuh tahun dan enam bulan penjara untuk perkara tindak pidana korupsi dan 10 tahun penjara untuk kejahatan pencucian uang.

"Penuntut umum menuntut supaya majelis hakim tindak pidana korupsi memutuskan menjatuhkan hukuman pidana berupa pidana tujuh tahun enam bulan dan denda Rp500 juta subsider enam bulan penjara," kata anggota jaksa penuntut umum Rini Triningsih dalam sidang di pengadilan Tipikor Jakarta, Senin.

Tuntutan tersebut berdasarkan dakwaan kesatu perdana yaitu dari pasal 12 huruf a UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara 10 tahun dan denda Rp1 miliar subsider satu tahun dan enam bulan kurungan," tambah Rini.

Tuntutan tersebut berdasarkan dakwaan kedua yaitu pasal 3 UU no 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat (1) KUHP dan dakwaan ketiga dari pasal 5 UU no 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat (1) KUHP.

Tuntutan pidana itu diambil setelah mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan Fathanah.

"Hal memberatkan adalah perbuatan terdakwa dilakukan di saat negara sedang giat-giatnya melakukan upaya pemberantasan korupsi, tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa secara bersama-sama dan terorganisir merusak kebijakan pemerintah terkait pembatasan kuota impor daging sapi dan berakibat pada pelanggaran hak ekonomi peternak lokal untuk memasok kebutuhan daging dalam negeri," jelas Rini.

Fathanah dinilai bersama-sama dengan mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq memberikan keuntungan kepada pengusaha tertentu dan merugikan hak-hak ekonomi masyarakat.

"Perbuatan terdakwa bersama-sama dengan Luthfi Hasan Ishaaq selaku anggota DPR yang menjabat jabatan publik selaku presiden partai untuk memenuhi permintaan pelaku impor daging tertentu dan pengusaha-pengusaha lainnya agar mendapat keuntungan dan kebijakan izin dan proyek lainnya di lingkungan Kementerian Pertanian adalah perbuatan korupsi yang dilarang Undang-undang karena dapat memberikan kerugian terhadap hak-hak ekonomi masyarakat," tambah Rini.

Hal lain yang memberatkan adalah karena Fathanah pernah terjerat masalah hukum di masa lalu baik di Indonesia maupun di luar negeri.

"Terdakwa sebagai `private sector` birokrasi khususnya di Kementerian Pertanian terdakwa telah melakukan beberapa kejahatan, terdakwa pernah dihukum dalam perkara penipuan menurut hukum Indonesia pada 2005 dan dalam perkara `illegal traficking` menurut hukum Australia pada 2008," jelas Rini.

Tanggungan

Hal yang meringatkan menurut jaksa adalah Fathanah berlaku sopan selama persidangan dan masih memiliki tanggungan keluarga.

Jaksa juga meminta agar sejumlah barang Fathanah disita untuk negara dan dilelang, sedangkan barang yang lain ada yang dikembalikan.

"Satu buku BPKP dan satu cincin kawin bertahta emas dan mata tujuh berlian dikembalikan kepada Sefti Sanustika," kata jaksa penuntut umum Guntur Ferry.

Dalam perbuatan tindak pidana korupsi, jaksa melihat bahwa Fathanah telah terbukti menerima uang Rp1,3 miliar dari Arya Abdi Effendi dan Juard Effendi dari PT Indoguna Utama untuk diberikan kepada Luthfi Hasan Ishaaq terkait jabatan Luthfi sebagai anggota Komisi I DPR dan Presiden PKS untuk mengatur kuota impor daging sapi bagi PT Indoguna Utama sebanyak 8.000 ton dengan "commitment fee" sebesar Rp5000 per kilogram sehingga total komisi adalah Rp40 miliar.

"Terdakwa sudah menerima uang Rp1,3 miliar dari seluruhnya Rp40 miliar untuk keperluan Luthfi selaku anggota DPR dan ketua PKS dimana uang yang sudah diterima maupun yang dijanjikan terkait pengurusan permohonan kuota impor daging," kata jaksa Wawan Yunarwanto.

Meski Fathanah berkilah bahwa dana tersebut diminta untuk kegiatan seminar dan kegiatan tambah-tambah kemanusiaan di Papua, hal itu tidak berkesuaian dengan keterangan sejumlah saksi lainnya seperti Elda Devianne Adiningrat, Ahmad Zaky, Ahmad Rozy, Arya Abdi Effendi, Sahruddin dan Maria Elizabeth Liman.

Sedangkan dalam perkara tindak pidana pencucian uang dalam dakwaan kedua, jaksa menilai bahwa Fathanah terbukti telah menempatkan sejumlah uang dan membelanjakan uang tersebut sebagai upaya untuk menutupi tindak pidana korupsi.

"Kami berkeyakinan perbuatan terdakwa telah memenuhi rumusan unsur yang patut diduga tindak pidana korupsi yaitu pada Januari 2011-2013 terbukti melakukan tindak pidana menempatkan, mentransfer, menukarkan sejumlah uang hingga mencapai Rp38,7 miliar yang patut diduga sebagai tindak pidana korupsi," ungkap Wawan.

Jaksa juga menilai bahwa Fathanah menggunakan pengaruh Luthfi untuk mendapatkan komisi dalam proyek maupun dalam pencalonan pejabat publik.

"Terdakwa menerima transfer merupakan transaksi keuangan tidak wajar dan tidak sesuai dengan profil keuangan dan tidak bisa dibuktikan sehingga patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi yaitu menerima uang terkait dengan `fee` proyek atau pencalonan orang sebagai pejabat dengan menggunakan pengaruh saksi Luthfi sebagai ketua partai, sehingga perbuatan terdakwa menerima transfer sudah memenuhi tindak pidana," tambah Wawan.

Menanggapi tuntutan tersebut, Fathanah menyatakan akan melakukan pembelaan.

"Saudara sudah dengar tuntutannya apa, sekarang step berikutnya mengenai pembelaaan kita, ini belum sesuatu yang final kemudian sesudahnya ada vonis, ya nanti kita ada pembelaan apa adil atau tidak," kata Fathanah seusai sidang.
(D017/a011)