Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah memutuskan tidak menaikkan tarif cukai rokok pada 2014 untuk mengurangi dampak negatif terhadap industri rokok menyusul pemberlakuan pajak rokok mulai tahun depan.

"Untuk tahun depan, cukai rokok tidak dinaikan karena ada pajak baru yang diterapkan," kata Wakil Menteri Keuangan II, Bambang PS Brodjonegoro, di Jakarta, Senin.

Meskipun tidak ada kenaikan tarif cukai hasil tembakau, namun pemerintah tidak khawatir dengan target pendapatan cukai karena produksi rokok cenderung terus bertambah sehingga target pendapatan cukai 2014 akan tercapai.

Sementara Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Susiwijono Moegiarso menjelaskan kebijakan tersebut sejalan dengan aturan di UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Dalam Penjelasan Pasal 29, menurut dia, termuat tabel ilustrasi tentang skema Tarif Cukai Hasil Tembakau (HT) dari tahun 2011 hingga 2015.

"Intinya untuk menjaga keseimbangan beban antara cukai yang harus ditanggung oleh Industri HT dgn kebutuhan fiskal untuk negara, maka dibuat ilustrasi skema tarif cukai. Dimana pada tahun 2014 (awal pengenaan Pajak Rokok) maka tarif cukai HT tidak dinaikkan," katanya.

Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) sebelumnya menolak kenaikan tarif cukai rokok lima persen tahun 2014. Sekjen Formasi JP Suhardjo mengatakan kenaikan cukai yang disertai dengan pajak daerah sebesar 10 persen akan sangat membebani pabrik-pabrik rokok kelas menengah. Pengusaha rokok kecil dapat terancam gulung tikar dan merumahkan pegawainya.

"Kalau dihitung dari data pabrikan kami, yang kami khawatirkan itu ada sekitar 12.000-an orang yang bisa di-PHK," katanya.

Berdasarkan APBN Perubahan 2013, target penerimaan cukai ditetapkan sebesar Rp104,7 triliun. Pada tahun 2014, target tersebut dinaikkan menjadi sebesar Rp116,2 triliun, atau ada kenaikan sebesar Rp11,5 triliun.

Selain mengandalkan kenaikan volume produksi rokok, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai akan menggantinya dengan kenaikan cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA).

"Kalau tarif cukai HT nggak boleh naik, pasti akan cukup berat ngejar target. Ini karena 95 persen penerimaan cukai adalah dari rokok (HT). Sedangkan faktor yang paling pengaruh untuk penerimaan hanya ada dua, yakni volume produksi dan kenaikan tarif cukai. Gak mungkin hanya mengandalkan kenaikan volume," kata Susiwijono.

Pada 2013, produksi rokok diperkirakan lebih dari 343 miliar batang sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret kretek tangan (SKT). Tahun 2014 diperkirakan jumlahnya hanya naik sebesar dua miliar batang saja menjadi 345 miliar batang.

Per 13 September 2013 pendapatan cukai mencapai Rp76,3 triliun atau 72,89 persen dari target APBN Perubahan 2013 sebesar Rp104,7 triliun. Perolehan cukai tersebut seiring dengan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (HT) berdasarkan PMK 179/PMK.011/2012.

Berdasar peraturan itu rata-rata kenaikan cukai rokok mencapai sebesar 8,5 persen, yang mulai berlaku 25 Desember 2012. Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2012 maka terjadi kenaikan penerimaan cukai sebesar 11,73 persen.

Jika dirinci, komposisi penerimaan cukai ini dikontribusi dari Cukai Hasil Tembakau sebesar 96 persen, Cukai MMEA 3,84 persen dan Cukai Etil Alkohol (EA) 0,14 persen.

"Untuk HT sudah tidak banyak ruang untuk optimalisasi penerimaan, kami akan fokus ke obyek cukai yang lain, yaitu MMEA. Tapi untuk rencana optimalisasi penerimaan cukai MMEA, masih dibicarakan di Badan Kebijakan Fiskal," kata Susiwijono.