Jakarta (ANTARA) - Semarak bulan Ramadhan dan puncak Hari Raya Idul Fitri selalu menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Pasalnya, setiap Ramadhan tiba, sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia mengeluarkan uang lebih banyak dibanding hari biasa, mulai dari pemenuhan kebutuhan pangan, pakaian, hingga rekreasi.

Berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, aktivitas konsumsi masyarakat yang meningkat selama Ramadhan turut menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi.

Pada triwulan II 2023, konsumsi rumah tangga menjadi penyokong utama pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran, dengan kontribusi sebesar 53,31 persen. Pada periode tersebut, konsumsi rumah tangga tumbuh 5,23 persen secara tahunan.

Adapun ekonomi Indonesia pada triwulan II 2023, yang beririsan dengan momen Ramadhan dan Lebaran, tumbuh sebesar 5,17 persen (yoy). Angka ini lebih tinggi dibanding pertumbuhan pada triwulan I 2023 yang sebesar 5,03 persen.

Perputaran uang selama hari-hari besar juga cenderung positif. Ini dapat dilihat dari jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1) dan uang beredar dalam arti luas (M2). Sebagai informasi, M2 meliputi gabungan uang kartal dan uang giral di masyarakat ditambah dengan uang kuasi serta surat berharga selain saham.

Merujuk data Bank Indonesia (BI), M2 pada periode Ramadhan dan Lebaran (April-Mei) tahun 2022 tumbuh secara tahunan sebesar 13,6 persen pada April dan 12,1 persen pada Mei. Pertumbuhan M2 saat Ramadhan dan Lebaran (Maret-April) tahun 2023 juga tetap positif meski sedikit melambat. Posisi M2 pada April 2023 tumbuh 5,5 persen (yoy), setelah bulan Maret 2023 tumbuh 6,2 persen (yoy).

Selama Ramadhan dan Lebaran tahun lalu, uang kartal dan uang giral (M1) yang dipegang masyarakat mencapai Rp4.561,7 triliun pada Maret dan Rp4.673,3 triliun pada April. Padahal bulan sebelumnya atau Februari 2023 baru sebesar Rp4.555,3 triliun.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai periode musiman memang menjadi faktor penting bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Momen Ramadhan dan Lebaran dipandang memberi dampak yang masif pada pertumbuhan ekonomi, di samping hari besar lainnya yaitu pada saat Natal dan Tahun Baru.

Periode Ramadhan tahun ini yang dimulai sejak 12 Maret tetap diharapkan menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi yang diprediksi tetap solid. Josua memproyeksikan ekonomi nasional tumbuh pada kisaran 5 persen pada triwulan I dan II 2024.

Selain itu, secara konsisten, perputaran uang juga diprediksi tetap tumbuh positif dari bulan-bulan sebelumnya. Apalagi mengingat masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan untuk membagi-bagikan angpau Lebaran dan sedekah pada saat pulang ke kampung halaman. Belum lagi, belanja masyarakat untuk keperluan makanan serta transportasi mudik selama Ramadhan dan perayaan Idul Fitri.


Optimisme

Tidak dimungkiri bahwa kenaikan harga pangan sebelum Ramadhan cukup membuat waspada. Badan Pusat Statistik (BPS) sudah memberi peringatan terhadap kondisi ini. Secara umum, data historis pada momen Ramadhan selalu menunjukkan terjadinya inflasi.

Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyebut komoditas pangan seperti daging ayam ras, telur ayam ras, dan daging sapi memberikan andil inflasi terbesar menjelang bulan Ramadhan dalam 3 tahun terakhir. Namun Ramadhan tahun ini, beras diwaspadai menjadi salah satu komoditas yang mempunyai andil terbesar dalam inflasi bulanan.

Adapun beras menjadi penyumbang terbesar inflasi bulanan pada Februari 2024, dengan andil inflasi 0,21 persen. Kenaikan harga beras pada periode tersebut terjadi di 37 provinsi. Meski begitu, produksi beras diperkirakan mulai meningkat pada Maret dan mencapai puncak panen raya pada April mendatang sehingga diharapkan inflasi dapat dijaga.

Meskipun terjadi fenomena inflasi menjelang Ramadhan, kondisi tersebut dinilai Josua tidak mengganggu dan tidak memberi pengaruh signifikan terhadap kinerja konsumsi masyarakat. Terlepas dari berbagai tantangan global dan domestik, pertumbuhan ekonomi diperkirakan tetap akan solid mengingat masyarakat memiliki tambahan dukungan sebagai bantalan ekonomi khususnya pada masyarakat kelas menengah dan bawah.

Pemerintah telah mengumumkan bahwa pencairan penuh tunjangan hari raya (THR) bagi aparatur sipil negara (ASN) dibayarkan paling cepat 10 hari kerja sebelum Idul Fitri. Selain itu, gaji ke-13 ASN juga dicairkan pada Juni. Tambahan dukungan ini akan menstimulasi belanja masyarakat kelas menengah ke atas.

Belum lagi, karyawan swasta juga akan mendapat THR di samping gaji bulanan. Meski dikenai pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 dengan menggunakan tarif efektif rata-rata, hal ini dinilai tidak menyurutkan daya beli masyarakat secara signifikan.

Pemerintah juga menggelontorkan bantuan sosial (bansos) hingga Juni 2024 dan bantuan langsung tunai (BLT) yang disalurkan pada periode Januari hingga Maret 2024. Bantuan dari Pemerintah ini dinilai mampu menjaga kinerja konsumsi rumah tangga terutama pada masyarakat kelas menengah ke bawah.

“Sekalipun inflasi cenderung tinggi, (itu) tidak mengurungkan belanja dari masyarakat karena Ramadhan dan Lebaran, kan momentumnya setahun sekali. Kemudian ada tambahan atau ada suntikan dari THR yang juga lumayan. Kecuali kalau tidak ada momentum pembayaran THR, mungkin itu bisa dampaknya negatif,” kata Josua.

Bank Indonesia (BI) juga memberikan sinyal positif terhadap kondisi ekonomi yang menggeliat selama Ramadhan dan Lebaran tahun 2024 dengan menyiapkan uang layak edar sebesar Rp197,6 triliun untuk memenuhi kebutuhan penukaran uang rupiah.

Deputi Gubernur BI Doni P. Joewono menyebut jumlah uang layak edar itu naik 4,65 persen dibandingkan realisasi tahun 2023 yang tercatat sebesar Rp188,8 triliun. Kenaikan jumlah uang layak edar di tahun ini didasarkan atas pertimbangan mobilitas masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan meningkat. Pergerakan masyarakat selama Idul Fitri 1445 Hijriah diprediksi mencapai 193,6 juta orang, merujuk data Kementerian Perhubungan dan BPS.

Dengan berbagai tanda positif dalam geliat ekonomi, Ramadhan dan Lebaran tahun ini harus disambut dan dijalani secara optimistis.

Akan tetapi, tentu dengan catatan bahwa Pemerintah dan pemangku kepentingan harus dapat menjaga stabilitas harga komoditas vital selama Ramadhan, terutama terkait pangan dan energi.

Yang lebih fundamental, Pemerintah juga harus membuka lapangan pekerjaan sebesar-besarnya sehingga mampu membantu kinerja konsumsi pada kelas menengah pada saat harga barang-barang meningkat.