Jakarta (ANTARA News) - Kebanyakan kalangan mungkin belum mengetahui bahwa konsep dasar pembentukan Golongan Karya (Golkar) dicetuskan Presiden Soekarno tahun 1956-1957 dalam konsep anti-partai yang mengusung perwakilan kelompok-kelompok di parlemen.

Setidaknya demikian menurut seorang Indonesianis asal Australia, David Revee, dalam bedah buku karyanya yang berjudul "Golkar; Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran dan Dinamika" di Galeri Cemara, Jakarta, Jumat (18/10).

"Tradisi anti-partai jarang dijelaskan dalam konteks berdirinya Golkar," kata David, Associate Professor di Departement of Chinese and Indonsian, School of Modern Language Studies, University of New South Wales, Sydney, Australia.

Ide Soekarno tentang Golkar muncul setelah kunjungannya ke China, yang ketika itu menerapkan kebijakan satu partai dan parlemennya memiliki golongan-golongan yang disebut Golongan Fungsionil.

"Sistem anti-partai ada di beberapa negara seperti diterapkan di China. Bung Karno ingin menerapkan sistem itu ketika baru pulang dari China," kata David.

Konsep Golkar (bukan sebagai partai) pada saat itu mendorong kelompok-kelompok masyarakat seperti guru, petani, dan buruh memiliki perwakilan di parlemen.

Kelompok-kelompok tersebut, menurut David, dalam kemudian membentuk organisasi khusus, misalnya Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) untuk kelompok petani.

"Banyak yang menyebut Golkar lahir tahun 1964 tapi faktanya pada 1950-an melalui terobosan ide terhadap politik," katanya.

Dalam perkembangannya selanjutnya, ia menjelaskan, ide anti-partai yang memunculkan Golkar ditinggalkan oleh Soekarno karena ia melihat gagasan tersebut dikuasai oleh Tentara Angkatan Darat.

Dalam bukunya, David menyebutkan bahwa sejak 1960-1965 Angkatan Darat mengembangkan organisasi-organisasi jenis Golkar tetapi lebih sebagai senjata melawan Partai Komunis Indonesia (PKI) daripada sebagai bentuk perwakilan.

Hal itu, menurut dia, membuat Soekarno kemudian melontarkan gagasan Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom).


Tiga Fase

David menjelaskan pula bahwa transformasi dalam tubuh Golkar terjadi dalam tiga fase.

Pertama, setelah ide anti-partai tahun 1950-an berkembang menjadi alat perlawanan terhadap PKI yang saat itu mengalami perkembangan pesat.

Fase kedua, saat Golkar digunakan untuk memenangkan orde baru dalam setiap pelaksanaan pemilihan umum dan fase ketiga saat Golkar menjadi partai politik setelah reformasi.

"Dulu dengan konsep anti-partai namun sekarang menjadi partai. Dulu mau mengubah aliran zaman dan menjadi sistem perwakilan baru namun saat ini ikut aliran zaman," ujar David.

Menurut Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung, Golkar berubah menjadi partai agar bisa tetap bertahan.

Akbar juga menuturkan, Golkar sadar bahwa jika tidak melakukan perbaruan internal maka Golkar tidak akan mampu bertahan dalam sistem perpolitikan Indonesia yang berubah setelah reformasi.

Tahun 1998 Golkar melakukan Musyawarah Luar Biasa (Munaslub) dan pada momen tersebut, menurut Akbar, Golkar siap melakukan transformasi menjadi partai politik.

"Golkar melakukan pembaharuan agar tidak identik dengan Orde Baru, dwi fungsi ABRI, dan Soeharto," kata Akbar, yang menjadi Ketua Umum Partai Golkar pada 1998-2004.

Saat itu dia mengaku menyadari bahwa pembangunan politik pasca-reformasi akan memberi kesempatan yang lebih luas terhadap partai politik.

Ia menjelaskan pula bahwa transformasi Golkar menjadi partai dalam perkembangannya justru berkorelasi positif dengan semangat reformasi.

Hal itu terlihat dari pelaksanaan konvensi untuk menentukan bakal calon presiden dari partai tersebut pada Pemilihan Presiden tahun 2004.

"Itu (konvensi) menunjukkan bahwa Golkar berubah," kata Akbar, yang menjadi Ketua DPR periode 1999-2004.


Tantangan Golkar

Pada masa Orde Baru, kekuatan rezim Soeharto ditopang tiga pilar kekuatan yaitu militer, Golkar dan birokrasi sehingga mampu bertahan hingga 32 tahun.

Setelah reformasi, Golkar ingin melepaskan stigma sebagai bagian dari Orde Baru dan bertransformasi menjadi partai politik.

Tentu saja basis massa Golkar di birokrasi akan lepas bersama netralitas birokrasi dan penghormatan terhadap hak politik individu.

Namun David menilai hal tersebut tidak menjadi masalah bagi Partai Golkar saat ini karena dalam sejarahnya Golkar selalu bermain di jalan tengah dan menempatkan diri di posisi aman.

"Golkar menawarkan jalan tengah, diantara nasionalis dan agama. Golkar menawarkan pilihan diantara itu, semacam nasionalis berbau Islam atau Islam berbau nasionalis," katanya.

Posisi aman yang dimainkan Golkar sebelum menjadi partai sampai setelah berubah menjadi partai politik membuat Golkar mendapat banyak dukungan setiap pemilihan umum.

Meski banyak dikritik, langkah Golkar menjadi partai politik dan pilihan jalan tengahnya membuat Golkar meraih 21,58 persen suara dalam pemilihan anggota legislatif tahun 2004.

David juga mengatakan bahwa prospek Golkar sebagai partai pada masa mendatang masih kuat dan partai itu masih bisa bersaing dengan partai lain seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Namun dia sempat menyindir bahwa saat ini ideologi partai yang bertarung dalam pemilihan umum tidak terlalu jelas.

"Saat ini semua partai cenderung ke tengah, PDI Perjuangan saat ini lebih Islamis dibandingkan 20 tahun lalu dan partai Islam juga mau memperlihatkan nasionalisme-nya," ujar David.