Peneliti tegaskan perlunya perkuat penelitian di Laut China Selatan
15 Maret 2024 15:58 WIB
Peneliti dan Wakil Direktur Asia Maritime Transparency Initiative CSIS Harrison Prétat (tengah) menyampaikan paparannya dalam konferensi pers Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) di Jakarta, Jumat (15/3/2024). ANTARA/Nabil Ihsan.
Jakarta (ANTARA) - Penelitian terhadap aspek lingkungan Laut China Selatan harus diperkuat demi meningkatkan kesadaran negara-negara atas kerusakan yang sudah terjadi di kawasan itu, demikian menurut lembaga riset Amerika Serikat Center of Strategic and International Studies (CSIS).
Peneliti dan Wakil Direktur Asia Maritime Transparency Initiative CSIS Harrison Prétat mengatakan, penelitian menjadi salah satu hal yang dapat memaksa negara-negara yang menduduki terumbu karang di Laut China Selatan mempertimbangkan kembali tindakannya yang mengancam lingkungan.
“Melakukan semakin banyak penelitian dapat menjadi satu strategi yang kuat karena China dan Vietnam khususnya, memiliki kepentingan dalam melindungi Laut China Selatan dan ekosistemnya,” ucap Prétat dalam konferensi pers Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) di Jakarta, Jumat.
Penelitian CSIS sebelumnya menyimpulkan bahwa pengerukan dasar laut untuk pembangunan pulau baru serta penangkapan masif kerang raksasa menjadi faktor utama yang memperburuk kerusakan Laut China Selatan.
Negara-negara yang memiliki kepentingan di Laut China Selatan, kata dia, tentunya tidak ingin sumber daya di kawasan tersebut hilang akibat kerusakan lingkungan yang masif, sehingga menimbulkan kerugian.
Baca juga: CSIS: Faktor aktivitas manusia perparah kerusakan Laut China Selatan
Selain itu, Prétat turut menyoroti pentingnya negara-negara yang berbatasan dengan Laut China Selatan, seperti Filipina, Indonesia, Vietnam, dan Malaysia, untuk meneliti kondisi ekosistem dan spesies di kawasan tersebut.
“Apalagi, ilmu kelautan di Laut China Selatan masih jauh tertinggal dari kawasan laut lainnya di dunia,” katanya menegaskan.
Ia menyebutkan salah satu imbas dari kurangnya penelitian terhadap Laut China Selatan adalah peneliti masih belum bisa menentukan apakah kerusakan yang terjadi sudah atau belum masuk pada taraf tak bisa diperbaiki (irreversible).
Baca juga: KKP galakkan program rehabilitasi terumbu karang di empat lokasi
Penelitian harus terus dilakukan supaya bisa diketahui berapa banyak lagi pulau yang bisa dibangun sebelum sistem terumbu karang dan spesies yang tergantung pada karang rusak parah dan tidak bisa pulih seperti sedia kala, kata Prétat.
Negara-negara yang mendirikan pos terdepan di terumbu karang Laut China Selatan, seperti Vietnam dan China, juga seharusnya bisa secara langsung meneliti kondisi karang dan ekosistem laut yang mereka hadapi di depan mata.
“Kami sudah melakukan semua hal yang bisa kami lakukan untuk meneliti hal ini, dan kami tidak bisa meneliti lebih jauh jika hanya berbekal citra satelit maupun data jarak jauh,” kata peneliti CSIS itu.
Baca juga: Menteri KP minta kawasan konservasi bebas aktivitas kapal laut
Peneliti dan Wakil Direktur Asia Maritime Transparency Initiative CSIS Harrison Prétat mengatakan, penelitian menjadi salah satu hal yang dapat memaksa negara-negara yang menduduki terumbu karang di Laut China Selatan mempertimbangkan kembali tindakannya yang mengancam lingkungan.
“Melakukan semakin banyak penelitian dapat menjadi satu strategi yang kuat karena China dan Vietnam khususnya, memiliki kepentingan dalam melindungi Laut China Selatan dan ekosistemnya,” ucap Prétat dalam konferensi pers Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) di Jakarta, Jumat.
Penelitian CSIS sebelumnya menyimpulkan bahwa pengerukan dasar laut untuk pembangunan pulau baru serta penangkapan masif kerang raksasa menjadi faktor utama yang memperburuk kerusakan Laut China Selatan.
Negara-negara yang memiliki kepentingan di Laut China Selatan, kata dia, tentunya tidak ingin sumber daya di kawasan tersebut hilang akibat kerusakan lingkungan yang masif, sehingga menimbulkan kerugian.
Baca juga: CSIS: Faktor aktivitas manusia perparah kerusakan Laut China Selatan
Selain itu, Prétat turut menyoroti pentingnya negara-negara yang berbatasan dengan Laut China Selatan, seperti Filipina, Indonesia, Vietnam, dan Malaysia, untuk meneliti kondisi ekosistem dan spesies di kawasan tersebut.
“Apalagi, ilmu kelautan di Laut China Selatan masih jauh tertinggal dari kawasan laut lainnya di dunia,” katanya menegaskan.
Ia menyebutkan salah satu imbas dari kurangnya penelitian terhadap Laut China Selatan adalah peneliti masih belum bisa menentukan apakah kerusakan yang terjadi sudah atau belum masuk pada taraf tak bisa diperbaiki (irreversible).
Baca juga: KKP galakkan program rehabilitasi terumbu karang di empat lokasi
Penelitian harus terus dilakukan supaya bisa diketahui berapa banyak lagi pulau yang bisa dibangun sebelum sistem terumbu karang dan spesies yang tergantung pada karang rusak parah dan tidak bisa pulih seperti sedia kala, kata Prétat.
Negara-negara yang mendirikan pos terdepan di terumbu karang Laut China Selatan, seperti Vietnam dan China, juga seharusnya bisa secara langsung meneliti kondisi karang dan ekosistem laut yang mereka hadapi di depan mata.
“Kami sudah melakukan semua hal yang bisa kami lakukan untuk meneliti hal ini, dan kami tidak bisa meneliti lebih jauh jika hanya berbekal citra satelit maupun data jarak jauh,” kata peneliti CSIS itu.
Baca juga: Menteri KP minta kawasan konservasi bebas aktivitas kapal laut
Pewarta: Nabil Ihsan
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2024
Tags: