CSIS: Faktor aktivitas manusia perparah kerusakan Laut China Selatan
15 Maret 2024 14:49 WIB
Peneliti Asia Maritime Transparency Initiative CSIS Monica Sato (kanan) mempresentasikan hasil penelitian terkait kerusakan lingkungan Laut China Selatan dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (15/3/2024). ANTARA/Nabil Ihsan.
Jakarta (ANTARA) - Pengerukan dasar laut untuk pembangunan pulau baru serta penangkapan masif kerang raksasa menjadi faktor utama yang memperburuk kerusakan Laut China Selatan dan mengancam keberlangsungan spesies, demikian menurut lembaga riset Amerika Serikat CSIS.
Peneliti Asia Maritime Transparency Initiative CSIS Monica Sato mengatakan, negara-negara bersengketa di Laut China Selatan berlomba-lomba membangun struktur dan pos terdepan di perairan untuk menegaskan klaim atas kawasan laut.
“Namun, kami mendapati bahwa pengerukan laut dan pembangunan pulau merugikan dan merusak lingkungan karena hal tersebut menghilangkan struktur laut yang membantu karang hidup dan mereparasi diri dari waktu ke waktu,” kata Sato dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat.
Ia menyoroti bahwa dari 2013 hingga 2017, China membangun pulau dengan metode cutter suction yang mengoyak permukaan dasar laut dan menyalurkannya ke daratan baru, sehingga merusak karang dan membunuh ikan-ikan.
Meski demikian, Sato mengatakan bahwa Vietnam kemudian justru mengikuti langkah China menggunakan metode cutter suction untuk membangun pos laut terdepannya.
Selain karena pembangunan pulau baru, peneliti tersebut mengatakan bahwa penangkapan kerang raksasa (giant clam) secara masif juga menjadi faktor lain yang memperburuk kerusakan lingkungan di Laut China Selatan.
Ia menjelaskan, kerang raksasa harus dilindungi karena merupakan spesies yang rentan punah. Apalagi, ada sekitar 10 spesies yang hanya dapat ditemukan di Laut China Selatan, sehingga semakin menegaskan pentingnya melindungi spesies itu.
Praktik tersebut marak dilakukan oleh nelayan China pada periode 2012—2015 sebelum otoritas China berupaya menertibkan para nelayan di tahun 2017, kata dia.
“Penangkapan kerang raksasa dilakukan oleh nelayan China dan menjadi populer pada tahun 2012 karena komoditas tersebut menjadi alternatif untuk gading gajah yang semakin sulit didapat,” ucap Sato.
Meski ada upaya penertiban tersebut, lanjutnya, penangkapan kerang raksasa masih tetap berlangsung, serta citra satelit menunjukkan kerusakan yang terjadi di terumbu karang Laut China Selatan karena penangkapan tersebut sudah masif.
Apabila tidak ada tindakan konkret untuk menghentikan aktivitas tersebut, dikhawatirkan kerusakan ekosistem Laut China Selatan jadi semakin sulit ditangani dan mengancam semakin banyak baik spesies maupun karang di ekosistem tersebut.
Baca juga: DLH: Kerusakan terumbu karang sebabkan abrasi di pesisir Natuna
Baca juga: IPB: Wisata selam Indonesia terhalang kerusakan ekosistem
Peneliti Asia Maritime Transparency Initiative CSIS Monica Sato mengatakan, negara-negara bersengketa di Laut China Selatan berlomba-lomba membangun struktur dan pos terdepan di perairan untuk menegaskan klaim atas kawasan laut.
“Namun, kami mendapati bahwa pengerukan laut dan pembangunan pulau merugikan dan merusak lingkungan karena hal tersebut menghilangkan struktur laut yang membantu karang hidup dan mereparasi diri dari waktu ke waktu,” kata Sato dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat.
Ia menyoroti bahwa dari 2013 hingga 2017, China membangun pulau dengan metode cutter suction yang mengoyak permukaan dasar laut dan menyalurkannya ke daratan baru, sehingga merusak karang dan membunuh ikan-ikan.
Meski demikian, Sato mengatakan bahwa Vietnam kemudian justru mengikuti langkah China menggunakan metode cutter suction untuk membangun pos laut terdepannya.
Selain karena pembangunan pulau baru, peneliti tersebut mengatakan bahwa penangkapan kerang raksasa (giant clam) secara masif juga menjadi faktor lain yang memperburuk kerusakan lingkungan di Laut China Selatan.
Ia menjelaskan, kerang raksasa harus dilindungi karena merupakan spesies yang rentan punah. Apalagi, ada sekitar 10 spesies yang hanya dapat ditemukan di Laut China Selatan, sehingga semakin menegaskan pentingnya melindungi spesies itu.
Praktik tersebut marak dilakukan oleh nelayan China pada periode 2012—2015 sebelum otoritas China berupaya menertibkan para nelayan di tahun 2017, kata dia.
“Penangkapan kerang raksasa dilakukan oleh nelayan China dan menjadi populer pada tahun 2012 karena komoditas tersebut menjadi alternatif untuk gading gajah yang semakin sulit didapat,” ucap Sato.
Meski ada upaya penertiban tersebut, lanjutnya, penangkapan kerang raksasa masih tetap berlangsung, serta citra satelit menunjukkan kerusakan yang terjadi di terumbu karang Laut China Selatan karena penangkapan tersebut sudah masif.
Apabila tidak ada tindakan konkret untuk menghentikan aktivitas tersebut, dikhawatirkan kerusakan ekosistem Laut China Selatan jadi semakin sulit ditangani dan mengancam semakin banyak baik spesies maupun karang di ekosistem tersebut.
Baca juga: DLH: Kerusakan terumbu karang sebabkan abrasi di pesisir Natuna
Baca juga: IPB: Wisata selam Indonesia terhalang kerusakan ekosistem
Pewarta: Nabil Ihsan
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2024
Tags: