Jakarta (ANTARA News) - Dunia boleh jadi sedikit merasa lega. Ancaman gagal bayar (default) Amerika Serikat akhirnya sirna, setidaknya untuk sementara waktu, setelah menjelang tenggat waktu (17/10), Kongres AS meloloskan Rancangan Undang-Undang anggaran yang memungkinkan Pemerintah Amerika Serikat beroperasi kembali dan menaikkan pagu utang.

Kongres Amerika Serikat pada Rabu malam (16/10) waktu setempat telah meloloskan RUU untuk mengakhiri penutupan (shutdown) sebagian kegiatan pemerintah yang sudah berjalan 16 hari, dan membawa ekonomi terbesar dunia itu dari kemungkinan gagal membayar utang yang dapat mengancam keuangan negara.

Pernyataan resmi Gedung Putih menyebutkan, Obama menandatangani undang-undang anggaran pemerintah Federal beberapa saat setelah Rabu lepas tengah malam atau segera setelah Kongres AS meloloskan RUU anggaran.

Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat masing-masing meloloskan RUU anggaran setelah pihak Partai Republik menghentikan upaya mereka untuk mengaitkan RUU tersebut dengan perubahan dalam undang-undang kesehatan yang digagas Presiden Barack Obama, atau Obamacare.

Namun kesepakatan ini hanya menawarkan solusi sementara dan tidak menyelesaikan isu-isu fundamental dari anggaran dan defisit yang memecah Republik dan Demokrat, sehingga terbuka kemungkinan, kasus serupa terulang pada tahun depan.

Undang-undang anggaran ini mendanai Pemerintah sampai 15 Januari dan menaikkan pagu utang sampai 7 Februari, sehingga ada kemungkinan rakyat Amerika akan menghadapi penutupan layanan pemerintah lagi pada tahun depan.

Sebelumnya, dunia bersiap menghadapi skenario terburuk gagal bayar utang AS, jika hingga batas waktu 17 Oktober Kongres AS gagal mencapai kesepakatan untuk menaikkan pagu utang. Departemen Keuangan AS memperingatkan default bisa memicu resesi yang bisa lebih buruk dari 2008. Jika batas utang tidak dinaikkan, bisa memberi malapetaka tidak hanya ke pasar keuangan, tapi pembelanjaan konsumen, pertumbuhan dan lapangan kerja.

Oleh karena itu berbagai kalangan mendesak AS untuk segera menaikkan pagu utangnya agar terhindar dari bencana gagal bayar.

Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim mengingatkan, gagal bayar AS akan berdampak dahsyat, baik pada ekonomi negara maju maupun berkembang. Kim berpendapat, kegagalan dalam menaikkan pagu utang akan menghasilkan kenaikan tingkat suku bunga, menurunnya tingkat kepercayaan, dan perlambatan ekonomi.

"Jika ini terjadi, akan menjadi malapetaka bagi negara-negara berkembang, yang pada gilirannya akan memperburuk ekonomi di negara-negara maju," tegasnya.

Demikian pula Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde mendesak AS untuk menaikkan pagu utangnya, dan memperingatkan kegagalan melakukan itu dapat menghancurkan ekonominya sendiri dan dunia. Ia memandang bila pagu utang tidak segera dinaikkan, dampaknya jauh lebih besar dari masalah shutdown.

"Tutupnya pemerintahan sudah cukup buruk, tapi kegagalan menaikkan batas utang akan jauh lebih buruk, dan bisa menghancurkan tidak hanya ekonomi AS, tapi juga global," kata Lagarde.


Tetap Ancaman

Kekhawatiran akan terjadinya krisis besar secara global setidaknya tertunda untuk sementara dengan adanya persetujuan Kongres AS tentang kenaikan pagu utang dan pembukaan kembali semua aktivitas pemerintahan. Namun akar masalahnya tetap tidak diatasi dengan kesepakatan itu.

Karena kenaikan pagu utang hanya berlaku hingga 7 Februari 2014, setelah itu ancaman krisis akan kembali terulang. Terlebih lagi Republikan sudah mengancam akan kembali mempersoalkan anggaran pada awal tahun depan. Jadi krisis serupa akan terjadi lagi pada tahun depan.

Sejak 1 Oktober 2013 utang pemerintah federal AS sudah mencapai 16,7 triliun dolar AS, yakni ambang batas tertinggi yang diizinkan konstitusi. Angka ini sudah melebihi produk domestik bruto AS sebesar 16 triliun dolar AS. Kenaikan pagu utang hingga 7 Februari bisa menjadi dasar penerbitan utang demi membiayai anggaran pemerintah AS serta melakukan pembayaran bunga dan cicilan utang.

Laporan departemen keuangan AS menyebutkan dari total utang publik 16,7 triliun dolar AS itu, 6,7 triliun dolar AS di bank sentral dan rekening pemerintah AS, investor AS lainnya 4,4 triliun dolar AS dan asing serta internasional 5,6 triliun dolar AS. Sementara dari total surat utang yang dipegang asing serta internasional, dikuasai China 1.277 miliar dolar AS, Jepang 1.135 miliar dolar AS, pusat-pusat perbankan Karibia 287,7 miliar dolar AS, pengekspor minyak 257,7 miliar dolar AS, Brazil 256,4 miliar dolar AS serta lainnya 2.376,3 miliar dolar AS.

Beberapa negara di kawasan Asia yang memegang obligasi Pemerintah AS (treasury-bond) dalam jumlah besar per Juli 2013, selain China dan Jepang yaitu Taiwan (185,8 miliar dolar AS), Singapura (81,5 miliar dolar AS), India (59,1 miliar dolar AS), Korea Selatan (51,4 miliar dolar AS), Thailand (43,5 miliar dolar AS), dan Malaysia (15,9 miliar dolar AS).

Negara-negara yang memegang surat utang pemerintah AS terancam akan rugi, karena negara-negara tersebut tidak mendapatkan pembayaran dari AS alias surat utang yang dipegang menjadi default (gagal bayar). Atas kemungkinan terjadinya kondisi itu, para petinggi institusi keuangan global telah memperingatkan Pemerintah AS, jika terjadi gagal bayar hal itu akan menjadi musibah katastropik di pasar keuangan dan membuat instabilitas global.

Dengan komposisi kepemilikan surat utang pemerintah AS seperti itu, cukup beralasan jika kecemasan melanda para kreditur terbesar AS, seperti China dan Jepang. Mereka melalui para pejabat tinggi kementerian keuangannya, mengingatkan dampak gagal bayar AS pada perekonomian global.

Dapat dibayangkan jika krisis Yunani dengan PDB hanya 250 miliar dolar AS saja sudah bisa merusak perekonomian zona euro, apalagi krisis Amerika Serikat dengan PDB 16 triliun dolar AS, terbesar di dunia, jauh melebihi China (8,5 triliun dolar AS) dan Jepang (6,0 triliun dollar AS), pasti akan merusak perekonomian seluruh dunia.


Tekan Pasar Keuangan

Jika AS gagal bayar akan berdampak terhadap pasar keuangan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pasar uang dan bursa saham global akan berada dalam tekanan. Bursa efek akan mengalami koreksi yang lebih tajam daripada saat krisis subprime mortgage pada September 2008. Investor akan memburu aset-aset non-dolar AS yang dianggap lebih aman (safe haven).

Investor global akan melepas obligasi Pemerintah AS, lalu memindahkan ke obligasi negara-negara lain. Namun di sisi lain, daya serap negara penerima modal juga terbatas sehingga akan timbul gelembung. Akibatnya dunia bisa kembali jatuh dalam resesi lebih buruk dari 2008.

Tak berlebihan jika para pengamat mengatakan nilai tukar rupiah merupakan salah satu yang paling awal merasakan tekanan jika AS gagal bayar, namun akan berlangsung singkat. Pasar saham Indonesia juga akan menghadapi tekanan hingga indeks di bawah 4.000 poin sekalipun memiliki fundamental baik. Terlebih lagi pasar saham sering kali lebih digerakkan oleh sentimen ketimbang oleh faktor fundamental ekonomi.

Dampak lain terhadap negara berkembang seperti Indonesia adalah terganggunya ekspor akibat kemerosotan ekonomi di AS yang akan menyebar ke kawasan lain di dunia karena saling terkait. Guncangan lain adalah kredit perbankan, aliran dana investasi, terganggu karena dunia kini saling terkait secara keuangan.

Namun Indonesia tampaknya telah mempersiapkan langkah-langkah antisipasi terkait kelanjutan kebijakan di AS itu. Salah satunya dengan melakukan kerja sama swap mata uang dengan beberapa negara. Bank Indonesia (BI) belum lama ini telah menandatangani perjanjian Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA) dengan tiga bank sentral yaitu Bank Sentral Korea Selatan senilai 10 miliar dolar AS, Bank of Japan (BoJ) senilai 12 miliar dolar AS, dan Bank Sentral China sebesar 15 miliar dolar AS.

Dengan perjanjian kerja sama tersebut akan memungkinkan Indonesia melalui bank sentral untuk meminjam dolar kepada negara lain dengan jaminan rupiah dengan jangka waktu tertentu. Hal ini merupakan sebuah antisipasi awal apabila investor asing membawa dolarnya keluar dari Indonesia yang bisa mempengaruhi nilai tukar rupiah.

Namun yang lebih penting lagi bagi Indonesia adalah bagaimana menjaga fundamental ekonomi di dalam negeri tetap kuat. Jika fundamental ekonomi terjaga, Indonesia lebih tahan terhadap gejolak yang terjadi di luar negeri. (*)