Makkah (ANTARA News) - Perawat di kloter 6 BTJ Aceh terpaksa menginfus jemaah yang dehidrasi di dalam tenda jemaah di Mina.

Tenda mereka yang berada di dalam maktab 1 terletak di Mina Jadid, lokasi terjauh dari Jamarat, jaraknya sekitar 7km dari area melontar jumroh tersebut.

Otomatis, maktab tersebut juga jauh dari Kantor Misi Haji Indonesia di Mina yang berlokasi tidak jauh dari terowongan Muasim, jaraknya sekitar 2km dari Jamarat.

"Kami terpaksa menginfus jemaah di tenda karena tidak bisa membawa mereka ke kantor misi haji, jaraknya jauh dan kami tidak tahu harus membawa mereka dengan (kendaraan) apa," kata Ainal, perawat tersebut.

Menurutnya, kebanyakan jemaah sakit akibat dehidrasi. "Dikasih infus dua kantung saja biasanya sudah sehat lagi, makanya saya infus saja di sini," kata dia.

Bagi jemaah, jarak yang cukup jauh dari Jamarat sering membuat mereka kelelahan ketika harus bolak-balik untuk melempar jumroh. Paling tidak mereka harus berjalan kaki 14km untuk pergi pulang.

Dengan kondisi cuaca yang sangat panas dan situasi yang sangat ramai oleh jemaah dari berbagai negara, jemaah seringkali kelelahan dan mengalami dehidrasi.

ltulah yang membuat Ainal nekad memberi infus jemaah di tenda mereka daripada membawa ke Balai Pengobatan Haji Indonesia di Kantor Misi Haji.

"Terlalu jauh. Hari pertama mabit saja sudah empat jemaah yang harus dia infus. Belum lagi yang hanya membutuhkan obat-obat ringan atau vitamin," katanya saat ditemui pada malam pertama jemaah mabit di Mina, Selasa.


Pelayanan Kesehatan Satelit

Melihat kesulitan pelayanan kesehatan di kloter meskipun mempunyai dokter dan perawat sendiri, Ketua Bidang Kesehatan Panitia Penyelenggaraan Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi, dr Fidiansjah, menganggap perlu adanya pelayanan kesehatan satelit di maktab-maktab.

"Konsepnya di maktab apalagi di Mina Jadid yg cukup jauh dibuat maktab satelit. Dokter dalam setiap kloter bergabung di tempat strategis, berbagi tugas. Sehingga jemaah kloter-kloter lain kalo mau berobat ke situ," katanya.

Satu maktab terdiri atas delapan sampai 10 kloter atau sekitar 3.000-an jemaah. Masing-masing kloter biasanya didampingi tiga petugas kesehatan, bisa satu dokter dua perawat, atau dua dokter satu perawat.

Menurut Fidiansjah, Dokter dan perawat kloter tidak akan memadai bagi jemaahnya yang jumlahnya mencapai 450-an orang.

Sebenarnya, kata dia, dokter dan perawat kloter hanya bertanggung jawab terhadap kloternya pada saat penerbangan. Di luar penerbangan, jemaah menjadi tanggung jawab bersama. "Karenanya lebih baik membentuk sektor satelit."

Sementara itu, Wakil Menteri Kesehatan Ali Gufron mengatakan, akan mengusahakan menambah kamar untuk pelayanan kesehatan kloter agar tidak dilakukan di kamar petugas kesehatan.

"Semoga tahun depan tidak terjadi lagi dokter putra dan putri jadi satu kamarnya termasuk untuk pelayanan karena secara etis, syariah, dan secara kenyamanan tidak bisa diterima," katanya.

Ia mengaku sudah bertemu dengan DPR, Komisi VIII dan wakil ketua DPR berkomitmen untuk tahun depan tidak terjadi lagi," katanya.

Menurutnya diperlukan anggaran sekitar Rp28 miliar untuk menambah kamar agar petugas kesehatan berbeda jenis kelamin tidak berada dalam satu kamar termasuk pelayanan kesehatannya.