Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia memandang perlu ada aturan lebih jelas terkait dengan tahapan interpretasi dalam penyelesaian kasus delik adat agar terhindar dari multiinterpretasi.

Multiinterpretasi ini, menurut Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum., dapat menyebabkan terjadinya ketidakjelasan dan penggunaan living law (pengaturan hukum yang hidup di tengah masyarakat) secara semena-mena.

"Maka, perlu diatur lebih jauh bagaimana tahapan interpretasi yang dapat dilakukan dalam penyelesaian kasus delik adat," kata Ketua Umum APHA Prof. Laksanto sebelum acara penyerahan 10 rekomendasi APHA kepada Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Sunarto di Gedung MA, Jakarta, Kamis pagi.

Pada kesempatan itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung Prof. Dr. Catharina Dewi Wulansari membaca sepuluh rekomendasi APHA tentang isu strategis nasional mengenai hukum adat dan masyarakat hukum adat, baik yang terkait dengan penerapan KUHP baru (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023) dan pidana adat maupun di beberapa peraturan perundang-undangan lain.

APHA juga memandang perlu sesegera mungkin Pemerintah membuat peraturan pemerintah yang dapat memberikan batasan yang jelas mengenai hukum yang mana yang dapat diterapkan.

Untuk mengatasi hambatan filosofis penyelesaian sengketa adat yang dilakukan pada lembaga yang bukan berasal dari masyarakat adat, kata Prof. Dr. C. Dewi Wulansari, seharusnya penyelesaian kasus hukum adat oleh hakim adat.

Poin rekomendasi lainnya, APHA memandang perlu ada aturan mengenai hukum perselisihan antaradat guna mengatasi adanya daerah-daerah hukum adat yang berbeda agar seseorang yang sehari-hari di bawah hukum adat dari lingkungan hukum adat mengadakan hubungan dengan orang dapat terselesaikan.

Selain itu, perlu ada aturan yang bersifat memaksa bagi pemerintah daerah untuk mengatur substansi hukum adat dalam peraturan daerah (perda) agar dapat melaksanakan ketentuan dalam KUHP dan hukum adat menjadi bisa mereka terapkan.

"Perlu diatur penyelesaian kasus hukum adat secara formal agar memenuhi rasa keadilan masyarakat hukum adat," katanya ketika membacakan rekomendasi poin ke-6 rekomendasi.

Poin ke-7, perlu diatur lebih jauh daya berlakunya putusan dalam perkara delik adat; poin ke-8, perlu diatur lebih jauh mengenai bagaimana bentuk pengakuan negara terhadap putusan delik adat.

Poin ke-9, para hakim perlu dibekali bagaimana formulasi penyelesaian perkara hukum adat yang dilakukan agar dapat sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat hukum adat.

Untuk memberikan atau mengembalikan hukum yang bersumber pada kearifan lokal dan mengembalikan keseimbangan dengan mengangkat hukum adat, kata dia, sistem peradilan adat harus diberlakukan terlepas dari sistem peradilan umum dan posisinya diletakkan setara dengan sistem peradilan yang selama ini berlaku.

"Dengan demikian, perkara hukum adat dapat diselesaikan oleh hakim adat yang jauh lebih mengerti rasa keadilan masyarakatnya," katanya membacakan rekomendasi APHA poin ke-10.

Penyerahan rekomendasi oleh Prof. Dr. C. Dewi Wulansari disaksikan Prof. Laksanto, Prof. H. Faisal Santiago dari Universitas Borobudur Jakarta, dan Prof. Amril Gaffar Sunny (STIN), dan Prof. Roberth K.R. Hammar dari Universitas Caritas Manokwari Papua Barat.

Acara ini dihadiri pula Dr. Rina Yulianti dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Madura, Dr. Purnawan D. Negara dari Universitas Widyagama Malang, Dr. Ummu Salamah dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Dr. Lenny Nadriana dari Universitas Sang Bumi Ruwa Jura (Saburai) Lampung, dan Dr. Ismail Rumadan dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta.