Pegiat sosial minta Kajati NTB atensi kasus pelecehan 29 santriwati
7 Maret 2024 18:49 WIB
Pegiat sosial dari Kompaks menyatakan sikap tegas agar penegak hukum bekerja profesional dalam penanganan kasus dugaan pelecehan seksual terhadap 29 santriwati di salah satu pondok pesantren wilayah Labangka, Kabupaten Sumbawa, usai bertemu dengan pihak kejaksaan di Kantor Kejati NTB, Kamis (7/3/2024). (ANTARA/Dhimas B.P.)
Mataram (ANTARA) - Pegiat sosial dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks) meminta Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat Bambang Gunawan menaruh atensi terhadap penanganan kasus dugaan pelecehan seksual terhadap 29 santriwati di salah satu pondok pesantren wilayah Labangka, Kabupaten Sumbawa.
"Berkas kasus ini terus bolak-balik dari jaksa peneliti ke penyidik, ini ada apa? Apa yang menjadi penyebab sampai seperti ini? Mohon Kajati NTB bisa mengatensi kasus ini," kata Yan Mangandar, Koordinator Kompaks saat ditemui usai menyampaikan persoalan ini ke Kejati NTB di Mataram, Kamis.
Dia mengatakan Kompaks sudah menelusuri informasi dari perjalanan kasus yang telah menetapkan pimpinan pondok pesantren tersebut sebagai tersangka.
Sejauh ini, berkas perkara milik tersangka sudah lebih dari tiga kali bolak-balik dari jaksa peneliti ke penyidik kepolisian.
"Penyidik polres di sini sudah merasa yakin telah memenuhi petunjuk. Tetapi, di kejaksaan (Kejari Sumbawa) setiap mengembalikan berkas ke penyidik, petunjuknya (berkas) sama terus," ujar Yan.
Seharusnya, kata dia, penyidik kepolisian harus duduk bersama dengan pihak kejaksaan untuk membicarakan persoalan yang menghambat proses penanganan perkara ini.
"Karena itu, kami berharap ada pertemuan antara kepolisian dan kejaksaan dalam penyelesaian kasus ini. Kami juga berharap, secara institusi, baik Kejati NTB dan Polda NTB bisa memfasilitasi pertemuan tersebut," ucap dia.
Dalam upaya mengungkap perbuatan pidana dalam kasus ini, Yan mengaku bahwa Kompaks juga telah meneruskan informasi ini kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawas Kejaksaan Agung RI (JAMWas Kejagung RI).
"Tujuan kami meneruskan informasi ini ke JAMWas Kejagung RI agar turut mengawasi kinerja jaksa peneliti yang bertugas pada kasus ini," ujarnya.
Sementara, Juru Bicara Kejati NTB Efrien Saputera mengatakan bahwa pihaknya akan meneruskan informasi dari pegiat sosial ini ke Kajati NTB.
"Akan kami sampaikan apa yang jadi hasil pertemuan kami dengan Kompaks ini kepada atasan (Kajati NTB)," kata dia.
Namun, dari hasil koordinasi dengan Kejari Sumbawa, Efrien mengatakan bahwa kabar terakhir berkas perkara sudah dikembalikan ke penyidik kepolisian.
"Bahkan sudah ditagih. Cuma, sampai batas waktu, belum ada pengembalian berkas. Karena belum, makanya SPDP dikembalikan," ujar Efrien.
Sementara, Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Reskrim Polres Sumbawa Aiptu Arifin Setioko mengatakan pihaknya telah memenuhi seluruh petunjuk jaksa peneliti.
"Tetapi, jaksa tidak yakin terhadap unsur pidana yang disangkakan penyidik," ucapnya.
Dia mengakui bahwa penyidik sudah berupaya memenuhi petunjuk, namun jaksa peneliti tetap mengembalikan dengan petunjuk tambahan.
"Bujuk rayu, tipu daya paksaan dan ancaman kekerasan menurut jaksa tidak terpenuhi, kami pun diminta mencari alat bukti lain," kata Arifin.
Adanya hambatan ini, dia menegaskan pihaknya akan menggelar kasus ini di Polda NTB dengan harapan mendapatkan petunjuk dalam penyelesaian kasus.
"Berkas kasus ini terus bolak-balik dari jaksa peneliti ke penyidik, ini ada apa? Apa yang menjadi penyebab sampai seperti ini? Mohon Kajati NTB bisa mengatensi kasus ini," kata Yan Mangandar, Koordinator Kompaks saat ditemui usai menyampaikan persoalan ini ke Kejati NTB di Mataram, Kamis.
Dia mengatakan Kompaks sudah menelusuri informasi dari perjalanan kasus yang telah menetapkan pimpinan pondok pesantren tersebut sebagai tersangka.
Sejauh ini, berkas perkara milik tersangka sudah lebih dari tiga kali bolak-balik dari jaksa peneliti ke penyidik kepolisian.
"Penyidik polres di sini sudah merasa yakin telah memenuhi petunjuk. Tetapi, di kejaksaan (Kejari Sumbawa) setiap mengembalikan berkas ke penyidik, petunjuknya (berkas) sama terus," ujar Yan.
Seharusnya, kata dia, penyidik kepolisian harus duduk bersama dengan pihak kejaksaan untuk membicarakan persoalan yang menghambat proses penanganan perkara ini.
"Karena itu, kami berharap ada pertemuan antara kepolisian dan kejaksaan dalam penyelesaian kasus ini. Kami juga berharap, secara institusi, baik Kejati NTB dan Polda NTB bisa memfasilitasi pertemuan tersebut," ucap dia.
Dalam upaya mengungkap perbuatan pidana dalam kasus ini, Yan mengaku bahwa Kompaks juga telah meneruskan informasi ini kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawas Kejaksaan Agung RI (JAMWas Kejagung RI).
"Tujuan kami meneruskan informasi ini ke JAMWas Kejagung RI agar turut mengawasi kinerja jaksa peneliti yang bertugas pada kasus ini," ujarnya.
Sementara, Juru Bicara Kejati NTB Efrien Saputera mengatakan bahwa pihaknya akan meneruskan informasi dari pegiat sosial ini ke Kajati NTB.
"Akan kami sampaikan apa yang jadi hasil pertemuan kami dengan Kompaks ini kepada atasan (Kajati NTB)," kata dia.
Namun, dari hasil koordinasi dengan Kejari Sumbawa, Efrien mengatakan bahwa kabar terakhir berkas perkara sudah dikembalikan ke penyidik kepolisian.
"Bahkan sudah ditagih. Cuma, sampai batas waktu, belum ada pengembalian berkas. Karena belum, makanya SPDP dikembalikan," ujar Efrien.
Sementara, Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Reskrim Polres Sumbawa Aiptu Arifin Setioko mengatakan pihaknya telah memenuhi seluruh petunjuk jaksa peneliti.
"Tetapi, jaksa tidak yakin terhadap unsur pidana yang disangkakan penyidik," ucapnya.
Dia mengakui bahwa penyidik sudah berupaya memenuhi petunjuk, namun jaksa peneliti tetap mengembalikan dengan petunjuk tambahan.
"Bujuk rayu, tipu daya paksaan dan ancaman kekerasan menurut jaksa tidak terpenuhi, kami pun diminta mencari alat bukti lain," kata Arifin.
Adanya hambatan ini, dia menegaskan pihaknya akan menggelar kasus ini di Polda NTB dengan harapan mendapatkan petunjuk dalam penyelesaian kasus.
Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024
Tags: