Gorontalo (ANTARA) - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Gorontalo memerlukan waktu untuk melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) terkait pembayaran ganti rugi lahan Bandar Udara (Bandara) DJalaluddin Gorontalo.

Kepala Biro Hukum Pemprov Gorontalo Moh. Trizal Entengo di Gorontalo, Kamis mengatakan pada prinsipnya Pemprov menghormati putusan MA dan siap menjalankannya, namun perlu waktu dan kehati-hatian melakukan pembayaran agar tidak menyelesaikan masalah tapi timbul masalah baru.

"Kemarin Pak Gubernur telah menyampaikan kita berkomitmen untuk melaksanakan isi putusan itu, kalau memang membayar kita harus bayar. Perlu saya jelaskan bahwa putusan MA itu dalam salah satu amar menghukum para tergugat untuk membayar kerugian materiil kepada penggugat berdasarkan perhitungan tim pembebasan tanah," kata Trizal.

Putusan MA tersebut memperbaiki amar putusan Pengadilan Negeri dan putusan banding Pengadilan Tinggi dari yang sebelumnya memerintahkan kepada Pemprov dan bandara untuk menyerahkan obyek sengketa kepada penggugat menjadi mengganti kerugian.

Keputusan itu memastikan operasional bandara dalam melayani penerbangan dari dan ke Gorontalo tidak akan terganggu.

Ada banyak hal yang memerlukan penjelasan dan penegasan dalam melaksanakan isi putusan MA tersebut.

Soal pembentukan tim pembebasan lahan apakah menggunakan panitia pembebasan yang lama (Tahun 2010 saat pembebasan lahan sebelumnya) atau dibentuk baru.

Jika membentuk panitia baru, instansi yang nanti membentuknya siapa, berhubung ada dua instansi yang menjadi tergugat.

Pelaksanaannya pun harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah (PP) 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Regulasi yang mengatur mulai dari perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan penyerahan. Apalagi proses pembayaran ganti kerugian harus dilakukan oleh dua belah pihak yakni Pemprov dan bandara, sehingga tidak bisa hanya Pemprov sendiri yang menjalankan prosesnya.

Itu semua diperlukan untuk menentukan berapa nilai tanah yang harus dibayar dan nanti penganggaran-nya pada APBN atau APBD.

"Kami belum memperoleh penjelasan dan penegasan dari PN saat kami menghadap Ketua PN Limboto atau pada saat Aanmaning lalu. Oleh karenanya kami masih memerlukan pendapat atau penjelasan dari instansi yang berwenang. Hal-hal ini yang kami perlukan agar Pemprov tidak terjerat pada persoalan hukum baru lagi," katanya.

Seandainya pada putusan dijelaskan bahwa ada nilai yang harus dibayar maka bisa jadi Pemprov tinggal menganggarkan, berapa jadi tanggungan Pemprov, berapa tanggungan bandara.

"Persoalannya dalam pembebasan lahan kita tidak bisa serta merta menentukan nilainya dan melakukan pembayaran," katanya.

Dalam proses Aanmaning di PN Limboto yang lalu, pihak penggugat meminta agar tanah sengketa seluas 7.448 meter persegi itu dihargai Rp4 juta per meternya.

Permintaan itu tidak bisa serta merta dipenuhi karena ada aturan yang harus dipatuhi.

Trizal menegaskan bahwa sengketa lahan bandara menjadi prioritas dan perhatian serius Pemprov Gorontalo.

Pemprov berharap pihak penggugat untuk memaklumi langkah yang diambil pemerintah.

Sengketa lahan di kawasan Bandara Djalaludin awalnya sudah dilakukan pembebasan pada Tahun 2010 dengan total luas lahan sebesar 82.510 meter.

Waktu itu Pemprov merogoh kocek sekitar Rp1,5 miliar atau di rata-rata Rp18.000 per meternya, kemudian ada pihak yang melakukan gugatan dan menang hingga ke MA.