“Untuk seorang perempuan dari aspek kesehatan dia panggulnya belum siap, organ reproduksinya belum siap kemungkinan bisa melahirkan anak stunting,” kata Marianus dalam diskusi edukasi pentingnya ASI di Jakarta, Rabu.
Marianus mengatakan data BKKBN menunjukkan sekitar 19-20 persen anak remaja usia 15-19 tahun melakukan pernikahan dini, sehingga dalam 10 juta anak remaja turut menyumbangkan angka kelahiran stunting karena organ reproduksi dan kesiapan tubuhnya yang belum stabil.
Baca juga: Pemerintah targetkan angka perkawinan anak turun 8,74 persen pada 2024
Baca juga: Mencegah pernikahan usia dini untuk menciptakan generasi unggul
“Bisa terjadi kekerasan karena ekonomi tidak terpenuhi, atau masa depan anak tidak bisa diurus, tidak bisa sekolah, sampai pada bunuh diri karena stres,” katanya.
BKKBN terus mengampanyekan bahwa berkeluarga harus direncanakan dengan matang sehingga membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera. Kampanye yang dilakukan dengan edukasi ke sekolah dan kampus tak hanya remaja dengan kondisi sehat namun juga menyasar pada remaja disabilitas.
BKKBN juga menekankan risiko anak lahir stunting di beberapa provinsi dengan pendampingan dari bidan atau kader KB untuk memberikan penyuluhan dan edukasi pencegahan stunting mulai dari remaja, calon pengantin hingga ibu hamil dan pasca melahirkan.
“Maka setiap pernikahan di persiapkan dengan baik dari aspek ekonomi, kesehatan dan lain-lain agar tidak jadi beban negara, anak lahir stunting dan perceraian, maka ada tindakan penanganan, yang berisiko kita lakukan preventif atau pencegahan,” kata Marianus.
Baca juga: Wapres tekankan pentingnya edukasi untuk cegah pernikahan dini
Baca juga: Bappenas sebut RPJMN pencegahan pernikahan anak tercapai