Profesor UMM: Indonesia harus miliki strategi merawat anak ruminansia
2 Maret 2024 19:29 WIB
Prof Dr Ahmad Wahyudi (tengah), Prof Dr Aniek Iriany (kanan) bersama Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Prof Dr Nazaruddin Malik (kiri) usai pengukuhan di GKB IV kampus setempat, Sabtu (2/3) (ANTARA/HO/UMM/End)
Malang (ANTARA) - Guru Besar Bidang Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Prof Dr Ahmad Wahyudi mengemukakan bahwa Indonesia harus memiliki strategi bagaimana merawat anak-anak ruminansia yang baru lahir.
"Seharusnya Pemerintah Indonesia tidak hanya mempunyai program meningkatkan jumlah kelahiran ruminansia muda, tapi juga harus memiliki strategi cara merawat anak-anak ruminansia yang baru lahir," kata Prof Ahmad Wahyudi dalam pidato pengukuhannya berjudul "Strategi Meningkatkan Kesehatan dan Mencegah Stunting Ruminansia Muda" di kampus UMM, Sabtu.
Dengan begitu, lanjutnya, jumlah yang mati tidak lebih besar dari jumlah bakalan yang diimpor.
Ia mengatakan jika jumlah ruminansia yang mati dan angka stunting dapat diturunkan secara nasional, kebijakan impor bakalan sapi dan daging tidak diperlukan lagi. "Kebijakan swasembada bakalan sapi sebaiknya juga ditata ulang untuk masa depan,” katanya.
Ia menjelaskan pemeliharaan ruminansia yang sembrono di masa awal pertumbuhan hingga fase poligastric dapat berakibat fatal, yakni menyebabkan kematian dan stunting.
Baca juga: Ini tiga tantangan usaha ternak ruminansia versi Kementan
Baca juga: RI kembangkan ternak sapi di tiga wilayah tekan impor daging
Berdasarkan data 2015, kematian pedet sapi perah mencapai 20 persen, sementara sapi Bali yang dipelihara secara komunal bersama induknya mencapai 55,56 persen, dan menjadi 72,73 persen di 2017.
Menurutnya, pemeliharaan ruminansia muda yang sehat sangat penting, karena akan berdampak signifikan pada pertumbuhan dan kinerja produksi daging pada kehidupan dewasa.
Lingkungan hidup ruminansia muda yang berubah dari rahim dalam kondisi steril ke kondisi alam luar yang sarat dengan kontaminasi makhluk halus pathogen dan perubahan nutrisi akan sangat mempengaruhi, termasuk dalam hal pencernaan dan penyerapan pakan.
"Oleh karena itu, perawatan ruminansia muda pra-sapih yang memadai harus menjadi perhatian serius agar tidak mati dan stunting," katanya.
Baca juga: Membangun lumbung sapi di pulau-pulau kecil
Baca juga: Pemkab Aceh Barat Daya bantu puluhan ekor sapi guna swasembada daging
Sementara itu, Prof Dr Aniek Iriany yang dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Pertanian itu dalam pidatonya mengemukakan strategi adaptasi tanaman terhadap perubahan iklim untuk pertanian berkelanjutan.
Ada tiga poin pokok dalam strategi ini, yakni penggunaan lahan dan sistem manajemen, perbaikan tanaman melalui pemuliaan tanaman, serta efisiensi permintaan dan konsumsi pangan.
Selain itu, kelangkaan air karena perubahan iklim juga menjadi sebuah tantangan. Oleh karena itu, modifikasi iklim mikro tanaman dilakukan dengan menjaga kelembaban dan suhu tanah, mencegah erosi tanah dan leaching unsur hara, karena run-off dipermukaan tanah serta mengurangi evaporasi air tanah.
“Hal ini dapat dilakukan, misalnya dengan pemulsaan menggunakan bahan organik, seperti jerami dan potongan rumput maupun maupun plastik. Mulsa membantu konservasi air dengan meminimalkan penguapan di permukaan tanah,” ujarnya.
Adapun pemulsaan menggunakan berbagai jenis bahan, berpotensi menjaga kelembaban tanah, mengurangi kehilangan penguapan, dan menekan populasi gulma. "Penggunaan mulsa yang berbeda memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan, hasil, dan kualitas berbagai tanaman," katanya.
Baca juga: BRIN: Konsep subak Bali merawat bumi bisa diterapkan di tempat lain
Baca juga: Pemerintah diminta segera perbaiki "syphon" Daerah Irigasi Serayu
Baca juga: Pemprov Bali tonjolkan subak sebagai praktik baik di Forum Air Dunia
"Seharusnya Pemerintah Indonesia tidak hanya mempunyai program meningkatkan jumlah kelahiran ruminansia muda, tapi juga harus memiliki strategi cara merawat anak-anak ruminansia yang baru lahir," kata Prof Ahmad Wahyudi dalam pidato pengukuhannya berjudul "Strategi Meningkatkan Kesehatan dan Mencegah Stunting Ruminansia Muda" di kampus UMM, Sabtu.
Dengan begitu, lanjutnya, jumlah yang mati tidak lebih besar dari jumlah bakalan yang diimpor.
Ia mengatakan jika jumlah ruminansia yang mati dan angka stunting dapat diturunkan secara nasional, kebijakan impor bakalan sapi dan daging tidak diperlukan lagi. "Kebijakan swasembada bakalan sapi sebaiknya juga ditata ulang untuk masa depan,” katanya.
Ia menjelaskan pemeliharaan ruminansia yang sembrono di masa awal pertumbuhan hingga fase poligastric dapat berakibat fatal, yakni menyebabkan kematian dan stunting.
Baca juga: Ini tiga tantangan usaha ternak ruminansia versi Kementan
Baca juga: RI kembangkan ternak sapi di tiga wilayah tekan impor daging
Berdasarkan data 2015, kematian pedet sapi perah mencapai 20 persen, sementara sapi Bali yang dipelihara secara komunal bersama induknya mencapai 55,56 persen, dan menjadi 72,73 persen di 2017.
Menurutnya, pemeliharaan ruminansia muda yang sehat sangat penting, karena akan berdampak signifikan pada pertumbuhan dan kinerja produksi daging pada kehidupan dewasa.
Lingkungan hidup ruminansia muda yang berubah dari rahim dalam kondisi steril ke kondisi alam luar yang sarat dengan kontaminasi makhluk halus pathogen dan perubahan nutrisi akan sangat mempengaruhi, termasuk dalam hal pencernaan dan penyerapan pakan.
"Oleh karena itu, perawatan ruminansia muda pra-sapih yang memadai harus menjadi perhatian serius agar tidak mati dan stunting," katanya.
Baca juga: Membangun lumbung sapi di pulau-pulau kecil
Baca juga: Pemkab Aceh Barat Daya bantu puluhan ekor sapi guna swasembada daging
Sementara itu, Prof Dr Aniek Iriany yang dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Pertanian itu dalam pidatonya mengemukakan strategi adaptasi tanaman terhadap perubahan iklim untuk pertanian berkelanjutan.
Ada tiga poin pokok dalam strategi ini, yakni penggunaan lahan dan sistem manajemen, perbaikan tanaman melalui pemuliaan tanaman, serta efisiensi permintaan dan konsumsi pangan.
Selain itu, kelangkaan air karena perubahan iklim juga menjadi sebuah tantangan. Oleh karena itu, modifikasi iklim mikro tanaman dilakukan dengan menjaga kelembaban dan suhu tanah, mencegah erosi tanah dan leaching unsur hara, karena run-off dipermukaan tanah serta mengurangi evaporasi air tanah.
“Hal ini dapat dilakukan, misalnya dengan pemulsaan menggunakan bahan organik, seperti jerami dan potongan rumput maupun maupun plastik. Mulsa membantu konservasi air dengan meminimalkan penguapan di permukaan tanah,” ujarnya.
Adapun pemulsaan menggunakan berbagai jenis bahan, berpotensi menjaga kelembaban tanah, mengurangi kehilangan penguapan, dan menekan populasi gulma. "Penggunaan mulsa yang berbeda memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan, hasil, dan kualitas berbagai tanaman," katanya.
Baca juga: BRIN: Konsep subak Bali merawat bumi bisa diterapkan di tempat lain
Baca juga: Pemerintah diminta segera perbaiki "syphon" Daerah Irigasi Serayu
Baca juga: Pemprov Bali tonjolkan subak sebagai praktik baik di Forum Air Dunia
Pewarta: Endang Sukarelawati
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2024
Tags: