Indef: Indonesia perlu perbaiki struktur ekspor agar tak rugi di OECD
29 Februari 2024 16:31 WIB
Peneliti Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus dalam diskusi publik secara virtual di Jakarta, Kamis (29/2/2024). ANTARA/Rizka Khaerunnisa
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus memandang bahwa Indonesia perlu memperbaiki struktur ekspor agar tak rugi saat resmi bergabung sebagai anggota OECD.
"Kalau kita tidak mengubah struktur ekspor kita dengan segera, kita hanya menjadi negara penyumbang atau pendukung negara-negara maju (di OECD)," kata Heri dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis.
Heri mengatakan, Indonesia saat ini masih dipandang sebagai negara yang lebih banyak memasok produk industri bernilai tambah rendah. Hal ini, kata dia, terlihat dari nilai tambah domestik dalam gross export Indonesia yang masih relatif kecil dibandingkan dengan rata-rata nilai tambah domestik dalam gross export negara OECD sekitar 3,6 miliar dolar AS pada 2020.
Jika dilihat dari komposisi ekspor berdasarkan pengguna akhir, Heri mengatakan bahwa Indonesia lebih banyak mengekspor produk yang bukan produk final seperti intermediate goods atau produk setengah jadi bahkan seperempat jadi. Hal ini membuat Indonesia berada dalam posisi dengan tingkat partisipasi rendah di rantai pasok global (global supply chain).
Apabila Indonesia resmi bergabung dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), Heri tidak memungkiri bahwa hal tersebut dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan peranan dalam rantai pasok global.
Namun dia juga mengingatkan ancaman yang mungkin terjadi apabila Indonesia tidak mengubah struktur ekspor, dari ekspor komoditas bahan mentah dan setengah jadi menjadi produk hilir bernilai tambah tinggi. Dengan demikian, struktur ekspor harus dilakukan perubahan secara fundamental.
"Jadi harus ada perubahan fundamental dalam struktur ekspornya. Sebelum mengubah struktur ekspor, kita juga perlu mengubah struktur industri manufakturnya supaya lebih bisa berperan dalam kontribusi yang lebih besar terhadap global supply chain. Kontribusi produk-produk yang nantinya nilai tambahnya lebih tinggi, tidak seperti saat ini," kata Heri.
Indonesia telah disetujui untuk lanjut ke tahap aksesi keanggotaan OECD pada 20 Februari 2024. Sebelumnya pemerintah Indonesia mengajukan keinginan untuk menjadi anggota OECD sejak bulan Juli 2023.
Proses aksesi OECD merupakan proses di mana 38 negara anggota meninjau secara mendalam calon negara kandidat dari berbagai aspek sebelum dapat diterima sebagai anggota resmi OECD.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan pihaknya berharap proses aksesi yang sudah dimulai saat ini hanya akan memakan waktu dua hingga tiga tahun saja. Sedangkan proses aksesi berbagai negara agar dapat menjadi anggota resmi OECD rata-rata membutuhkan waktu lima sampai tujuh tahun.
Baca juga: Pemerintah nilai RI punya modal cukup jadi anggota OECD
Baca juga: RI jadi negara dengan proses persetujuan aksesi OECD paling cepat
Baca juga: Menko: Aksesi OECD bantu Indonesia keluar dari 'middle-income trap'
"Kalau kita tidak mengubah struktur ekspor kita dengan segera, kita hanya menjadi negara penyumbang atau pendukung negara-negara maju (di OECD)," kata Heri dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis.
Heri mengatakan, Indonesia saat ini masih dipandang sebagai negara yang lebih banyak memasok produk industri bernilai tambah rendah. Hal ini, kata dia, terlihat dari nilai tambah domestik dalam gross export Indonesia yang masih relatif kecil dibandingkan dengan rata-rata nilai tambah domestik dalam gross export negara OECD sekitar 3,6 miliar dolar AS pada 2020.
Jika dilihat dari komposisi ekspor berdasarkan pengguna akhir, Heri mengatakan bahwa Indonesia lebih banyak mengekspor produk yang bukan produk final seperti intermediate goods atau produk setengah jadi bahkan seperempat jadi. Hal ini membuat Indonesia berada dalam posisi dengan tingkat partisipasi rendah di rantai pasok global (global supply chain).
Apabila Indonesia resmi bergabung dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), Heri tidak memungkiri bahwa hal tersebut dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan peranan dalam rantai pasok global.
Namun dia juga mengingatkan ancaman yang mungkin terjadi apabila Indonesia tidak mengubah struktur ekspor, dari ekspor komoditas bahan mentah dan setengah jadi menjadi produk hilir bernilai tambah tinggi. Dengan demikian, struktur ekspor harus dilakukan perubahan secara fundamental.
"Jadi harus ada perubahan fundamental dalam struktur ekspornya. Sebelum mengubah struktur ekspor, kita juga perlu mengubah struktur industri manufakturnya supaya lebih bisa berperan dalam kontribusi yang lebih besar terhadap global supply chain. Kontribusi produk-produk yang nantinya nilai tambahnya lebih tinggi, tidak seperti saat ini," kata Heri.
Indonesia telah disetujui untuk lanjut ke tahap aksesi keanggotaan OECD pada 20 Februari 2024. Sebelumnya pemerintah Indonesia mengajukan keinginan untuk menjadi anggota OECD sejak bulan Juli 2023.
Proses aksesi OECD merupakan proses di mana 38 negara anggota meninjau secara mendalam calon negara kandidat dari berbagai aspek sebelum dapat diterima sebagai anggota resmi OECD.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan pihaknya berharap proses aksesi yang sudah dimulai saat ini hanya akan memakan waktu dua hingga tiga tahun saja. Sedangkan proses aksesi berbagai negara agar dapat menjadi anggota resmi OECD rata-rata membutuhkan waktu lima sampai tujuh tahun.
Baca juga: Pemerintah nilai RI punya modal cukup jadi anggota OECD
Baca juga: RI jadi negara dengan proses persetujuan aksesi OECD paling cepat
Baca juga: Menko: Aksesi OECD bantu Indonesia keluar dari 'middle-income trap'
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2024
Tags: