Jakarta (ANTARA News) - Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Bandung Prof Nanat Fatah Natsir mengatakan, anggota Mahkamah Konstitusi (MK) sebaiknya dipilih oleh sebuah kelompok independen yang terdiri atas pakar-pakar hukum tata negara.

"Dengan begitu, kredibilitas dan profesionalisme MK bisa tetap terjaga karena tidak dipilih oleh lembaga negara atau lembaga politik," kata Nanat Fatah Natsir dihubungi di Jakarta, Kamis.

Nanat mengatakan, tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi AM dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan musibah bagi bangsa.

Menurut Nanat, kejadian itu telah menjatuhkan kredibilitas dan kehormatan MK yang sebelumnya sudah dibangun oleh ketua-ketua sebelumnya, yaitu Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD.

"Akan sangat sulit untuk mengembalikan kredibilitas MK dan kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut. Ke depan, publik bisa saja sudah tidak percaya dengan putusan-putusan yang diambil MK," tuturnya.

Salah satu Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu mengatakan, kejadian itu juga menjadi musibah besar bagi bangsa Indonesia, karena semakin sedikit lembaga negara yang bisa dipercaya rakyat.

"Hampir semua lembaga negara sudah kehilangan kepercayaan publik. Mungkin satu-satunya yang masih mendapat kepercayaan publik hanya tinggal KPK," ujarnya.

Sebelumnya, KPK menangkap Ketua MK berinisial AM yang diduga menerima uang terkait sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

"Penyidik menangkap tangan beberapa orang di kompleks Widya Chandra, dengan inisial AM, CHN, dan CN," kata Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi, dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis dini hari.

Johan mengatakan, AM merupakan Ketua Mahkamah Konstitusi, sementara CHN seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan CN seorang pengusaha.

Di Widya Chandra, penyidik menyita uang dolar Singapura, perkiraan sementara, senilai Rp2 miliar hingga Rp3 miliar, yang diduga merupakan pemberian CHN dan CN kepada AM terkait yang diduga terkait sengketa pilkada di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
(D018/Z002)