Konsumen dalam negeri harus disiapkan antisipasi pasokan gas melimpah
28 Februari 2024 19:43 WIB
Koordinator Penyiapan Program Migas Ditjen Migas Kementerian ESDM Rizal Fajar Muttaqien dalam webinar "Menelisik Kesiapan Pasokan Gas untuk Sektor Industri dan Pembangkit Listrik" yang di selenggarakan oleh Forum Wartawan Energi di Jakarta, Rabu (28/2/2024). ANTARA/HO-Forum Wartawan Energi
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan untuk mengantisipasi kelebihan pasokan gas yang berpotensi terjadi mulai 2025 perlu disiapkan calon pembeli gas dari dalam negeri sehingga gas bisa dimanfaatkan, tidak langsung dijual atau diekspor.
"Indonesia bakal surplus gas hingga 2035. Pasokan gas nanti ada dari Bontang, Tangguh serta dari proyek Masela. Ini gasnya bisa juga untuk domestik, terutama pembangkit listrik dan industri,” kata Koordinator Penyiapan Program Migas Ditjen Migas Kementerian ESDM Rizal Fajar Muttaqien.
Pernyataan tersebut disampaikannya dalam webinar "Menelisik Kesiapan Pasokan Gas untuk Sektor Industri dan Pembangkit Listrik" yang di selenggarakan oleh Forum Wartawan Energi di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan, konektivitas saat ini menjadi isu utama dalam penyaluran gas di tanah air.
Menurut dia, pemerintah sebenarnya sudah berinisiatif mengisi gap antara sumber pasokan gas dan wilayah yang membutuhkan gas. Hal itu bisa dilihat dari proyek pipa gas transmisi ruas Cirebon-Semarang (Cisem) yang ditargetkan bisa rampung pada Agustus 2024 untuk tahap I.
"Sekarang hampir tersambung dari Sumatera hingga ke Jawa," ujar Rizal.
Diketahui, kebutuhan gas domestik sebenarnya sudah mengalami pertumbuhan. Penurunan ekspor gas dimulai 2012, sejalan penggunaan gas untuk dalam negeri juga mulai meningkat, namun pertumbuhannya sejak saat itu hanya di kisaran 1 persen setiap tahunnya.
Pada 2022, dari total produksi gas sebesar 5.474 ribu kaki kubik per hari (MMscfd), 68 persen di antaranya digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan sisanya sebesar 32 persen diekspor.
Rizal mengungkapkan gas memiliki peran penting termasuk dalam pemenuhan energi di masa depan. Apalagi dengan emisi yang lebih rendah otomatis dengan peningkatan penggunaan gas maka emisi secara keseluruhan juga bisa ditekan.
"Gas bisa memberikan kontribusi terhadap pengurangan emisi. Setelah 2060 memang sudah tidak ada gas dalam RUPTL (rencana usaha penyediaan tenaga listrik) tetapi masih ada untuk transportasi. Untuk industri dan gas ini sumber daya energi yang bersih," ujar Rizal.
Sementara itu, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengatakan bahwa kebijakan harga gas bumi murah atau harga gas bumi tertentu (HGBT) kepada tujuh sektor industri telah berdampak pada berkurangnya penerimaan negara.
Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi mencatat penurunan penerimaan negara akibat kebijakan HGBT sebesar 6 dolar AS per MMBTU, lebih dari 1 miliar dolar AS atau sekitar Rp15,68 triliun.
Terkait hal tersebut, Rizal mengatakan Kementerian ESDM masih harus mengevaluasi secara menyeluruh kebijakan itu.
"Kemenperin juga sudah mengusulkan usulan untuk perpanjangan atau keberlanjutan kebijakan HGBT, hanya kami dari ESDM masih menunggu evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan HGBT yang sudah berjalan selama ini," ucap Rizal.
Dalam kesempatan sama, Chairman Indonesia Gas Society (IGS) Aris Mulya membeberkan sejumlah tantangan yang masih dihadapi Indonesia dalam pengembangan gas dalam negeri. Menurut Aris, tantangan yang dimaksud berasal dari sektor hulu, hilir hingga regulasi.
Dari sektor hulu, ia mengatakan tingginya resiko pengembangan hulu migas sehingga berdampak rendahnya investasi yang masuk.
"Kita tahu sektor hulu merupakan pengembangan industri yang beresiko tinggi dan berdampak pada bagaimana kita undang investor masuk dalam usaha industri hulu," ujar Aris.
Baca juga: PGN tanda tangani MoU pasokan LNG dari dalam negeri
Baca juga: OIKN sebut pasokan gas di IKN menggunakan gas bumi dan gas hidrogen
Baca juga: PGN serap LNG Wilayah Kerja Rapak tingkatkan pasokan gas ke domestik
"Indonesia bakal surplus gas hingga 2035. Pasokan gas nanti ada dari Bontang, Tangguh serta dari proyek Masela. Ini gasnya bisa juga untuk domestik, terutama pembangkit listrik dan industri,” kata Koordinator Penyiapan Program Migas Ditjen Migas Kementerian ESDM Rizal Fajar Muttaqien.
Pernyataan tersebut disampaikannya dalam webinar "Menelisik Kesiapan Pasokan Gas untuk Sektor Industri dan Pembangkit Listrik" yang di selenggarakan oleh Forum Wartawan Energi di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan, konektivitas saat ini menjadi isu utama dalam penyaluran gas di tanah air.
Menurut dia, pemerintah sebenarnya sudah berinisiatif mengisi gap antara sumber pasokan gas dan wilayah yang membutuhkan gas. Hal itu bisa dilihat dari proyek pipa gas transmisi ruas Cirebon-Semarang (Cisem) yang ditargetkan bisa rampung pada Agustus 2024 untuk tahap I.
"Sekarang hampir tersambung dari Sumatera hingga ke Jawa," ujar Rizal.
Diketahui, kebutuhan gas domestik sebenarnya sudah mengalami pertumbuhan. Penurunan ekspor gas dimulai 2012, sejalan penggunaan gas untuk dalam negeri juga mulai meningkat, namun pertumbuhannya sejak saat itu hanya di kisaran 1 persen setiap tahunnya.
Pada 2022, dari total produksi gas sebesar 5.474 ribu kaki kubik per hari (MMscfd), 68 persen di antaranya digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan sisanya sebesar 32 persen diekspor.
Rizal mengungkapkan gas memiliki peran penting termasuk dalam pemenuhan energi di masa depan. Apalagi dengan emisi yang lebih rendah otomatis dengan peningkatan penggunaan gas maka emisi secara keseluruhan juga bisa ditekan.
"Gas bisa memberikan kontribusi terhadap pengurangan emisi. Setelah 2060 memang sudah tidak ada gas dalam RUPTL (rencana usaha penyediaan tenaga listrik) tetapi masih ada untuk transportasi. Untuk industri dan gas ini sumber daya energi yang bersih," ujar Rizal.
Sementara itu, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengatakan bahwa kebijakan harga gas bumi murah atau harga gas bumi tertentu (HGBT) kepada tujuh sektor industri telah berdampak pada berkurangnya penerimaan negara.
Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi mencatat penurunan penerimaan negara akibat kebijakan HGBT sebesar 6 dolar AS per MMBTU, lebih dari 1 miliar dolar AS atau sekitar Rp15,68 triliun.
Terkait hal tersebut, Rizal mengatakan Kementerian ESDM masih harus mengevaluasi secara menyeluruh kebijakan itu.
"Kemenperin juga sudah mengusulkan usulan untuk perpanjangan atau keberlanjutan kebijakan HGBT, hanya kami dari ESDM masih menunggu evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan HGBT yang sudah berjalan selama ini," ucap Rizal.
Dalam kesempatan sama, Chairman Indonesia Gas Society (IGS) Aris Mulya membeberkan sejumlah tantangan yang masih dihadapi Indonesia dalam pengembangan gas dalam negeri. Menurut Aris, tantangan yang dimaksud berasal dari sektor hulu, hilir hingga regulasi.
Dari sektor hulu, ia mengatakan tingginya resiko pengembangan hulu migas sehingga berdampak rendahnya investasi yang masuk.
"Kita tahu sektor hulu merupakan pengembangan industri yang beresiko tinggi dan berdampak pada bagaimana kita undang investor masuk dalam usaha industri hulu," ujar Aris.
Baca juga: PGN tanda tangani MoU pasokan LNG dari dalam negeri
Baca juga: OIKN sebut pasokan gas di IKN menggunakan gas bumi dan gas hidrogen
Baca juga: PGN serap LNG Wilayah Kerja Rapak tingkatkan pasokan gas ke domestik
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2024
Tags: