Jakarta (ANTARA News) - Menteri Pertanian Suswono mengungkapkan peran Bunda Putri, julukan seorang perempuan yang disebut-sebut punya hubungan dengan Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera Hilmi Aminuddin, anak Hilmi, Ridwan Hakim, Fathanah serta Suswono sendiri.

"Saya pernah bertemu (dengan Bunda Putri) di Kalimantan, dia pengusaha," kata Suswono saat bersaksi dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Jakarta, Kamis.

Suswono menjadi saksi dalam sidang suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian dan tindak pidana pencucian uang mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq.

Nama Bunda Putri sendiri mencuat dari rekaman yang pernah diputar dalam sidang terdakwa orang dekat Luthfi, Ahmad Fathanah.

Pembicaraan tersebut terjadi antara Luthfi Hasan, Bunda Putri, dan Ridwan Hakim pada 28 Januari 2013 atau sehari sebelum penangkapan Fathanah oleh KPK. Dalam pembicaraan diketahui bahwa Suswono pernah datang ke rumah Bunda Putri di Pondok Indah dan Bunda Putri terkesan menjadi pembuat keputusan dalam sejumlah urusan.

"Nama sebenarnya saya tidak tahu persis, tapi dia memperkenalkan diri sebagai Bunda Putri dari Cilimus, Kuningan, tapi saya tidak terlalu banyak berinteraksi," ungkap Suswono.

Hanya saja, Suswono mengakui bahwa ia pernah datang ke rumah Bunda Putri di Pondok Indah

"Apa isi pembicaraan Anda di rumah Bunda Putri ini?" tanya anggota majelis hakim Nawawi Pamolango.

"Saya baru keluar kota dan saya butuh info yang cepat terkait ada seseorang yang mengaku sebagai adiknya Wapres, adiknya Pak Boediono, berkenalan dengan dirjen dan mau memperkenalkan perusahaan yang mau impor, setahu saya, beliau (Bunda Putri) pernah membawa adik Pak Boediono itu di Kalimantan, karena saya teringat dengan itu maka saya kejar untuk memastikan apakah benar," cerita Suswono.

"Tidak pernah minta penjelasan dari Bunda untuk kebijakan?," tanya Nawawi.

"Tidak pernah," jawab Suswono.

Suswono lalu menjelaskan bahwa Dirjen yang dimaksud adalah Dirjen Peternakan Syukur Iwantoro, sedangkan nama adik Boediono itu adalah Tuti.

"Pembicaraan saya dengan Bunda Putri itu orang yang ingin dikenalkan dengan Dirjen Peternakan, namanya kalau tidak salah ibu Tuti, saya didiperkenalkan di Pontianak, makanya saya perlu apakah benar orang ini atau bisa saja mengaku-ngaku," jelas Suswono.

Namun Suswono mengaku bahwa Ibu Tuti tersebut bukanlah pengusaha.

"Dia hanya memperkenalkan perusahaan yang ingin terlibat dalam soal itu, saya tahu dari laporan Dirjen," tambah Suswono.

Mendengar hal tersebut, Bunda Putri menurut Suswono terkejut.

"Kemudian beliau mengatakan kaget, dan mengaku bertemu dan tidak tahu perusahaan yang diperkenalkan ini seperti apa, katanya pelaku importir," ungkap Suswono.

Hakim juga menanyakan mengenai orang yang bernama Sengman alias Sengman Tjahja adalah pengusaha properti asal Palembang yang disebut-sebut yang menjadi utusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke PKS.

"Saya juga pernah bertemu Sengman, beliau yang datang ke rumah dinas saya," jelas Suswono.

Suswono mengaku bahwa Sengman memperkenalkan diri sebagai orang dekat Presiden.

"Waktu itu dia datang dan menceritakan perkenalannya dan sangat dekat dengan Pak SBY, itu saja," jelas Suswono.

Sengman juga bukan pengusaha importir daging.

"Saya tidak tahu banyak aktivitas Sengman, dia pernah cerita sering di Singapura, dia tidak terjun sendiri, tapi pernah menyampaikan ada beberapa perusahaan yang terlibat kuota importasi dan saya mengatakan ikuti saja aturan mainnya," tambah Suswono.

Seusai sidang Suswono mengatakan perusahaan yang dibawa oleh orang yang mengaku adik Boediono itu tidak ikut tender.

"Tidak pernah ajukan adik Boediono, kan biasa bawa-bawa nama tapi saya katakan tidak ada tindak lanjut," ungkap Suswono.

Dalam perkara ini, Luthfi didakwa melakukan korupsi dan TPPU berdasarkan pasal 12 huruf a atau pasal 5 ayat 2 jo pasal 5 ayat 1 atau pasal 11 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun dan denda Rp1 miliar.

Selanjutnya pasal 3 ayat (1) huruf a, b, dan c UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang sebagaimana telah diubah dengan UU no 25 tahun 2003 tentang perubahan atas UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang jo pasal 65 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar.

Serta pasal 6 ayat (1) huruf b dan c UU No15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang sebagaimana telah diubah dengan UU No 25 tahun 2003 tentang perubahan atas UU No 15 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang mengenai orang yang menerima atau menguasai harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun penjara dan Rp15 miliar.