Jakarta (ANTARA News) - Boleh dikata lembaga peradilan kita runtuh manakala Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi harapan terakhir masyarakat dalam mencari keadilan, turut teracuni oleh praktik suap yang selama ini menjalari negeri ini.
Ke mana lagi kita berharap? Pertanyaan itu muncul begitu Ketua MK Akil Mochtar ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat menerima suap terkait dugaan penanganan sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Ingatan orang ditarik mundur ke masa tiga tahun silam saat pakar hukum tata negara Refly Harun menyampaikan kesaksian mengenai praktik suap dalam tubuh MK menyangkut penanganan sengketa MK. Sat itu Refly dicibir. Tapi kini kejadian Rabu malam itu seolah membenarkan kicauan Refly saat itu.
Ke mana lagi kita berharap? Kembali pertanyaan ini terlontar dari kita. Bahkan komisioner Komisi Yudisial Imam Anshori menyatakan penangkapan Ketua MK itu membuat masyarakat kian sulit mempercayai lembaga peradilan.
"Masyarakat semakin susah untuk mempercayai lembaga peradilan, setelah cukup lama Mahkamah Agung coreng moreng oleh banyaknya hakim yang melakukan tindakan tidak terpuji. Sekarang hakim MK terlibat kasus suap. Semakin runtuh wibawa peradilan di negeri kita," kata Imam.
Di lain pihak, penangkapan AM semakin menegaskan bahwa putusan MK tahun 2006 yang menghapus kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim konstitusi itu salah besar.
Ternyata, kata Imam, MK tidak suci, sehingga perlu diawasi institusi lain.
Imam bilang, sudah saatnya UU Komisi Yudisial dan UU Kekuasaan Kehakiman diubah demi memulihkan kembali kewenangan Komisi Yudisial mengawasi para hakim.
"Hal itu sesuai dengan semangat yang ada di dalam Undang-Undang Dasar 1945," tuturnya.
Hal senada disampaikan Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane.
"Kasus ini menunjukkan hukum sudah terbeli dan tidak ada lagi panutan di negeri ini," tegas dia.
Orang kini tak lagi bisa berharap kepada MK yang selama ini dianggap garda terdepan konstitusi negeri ini. Netta bahkan menyebutkan negeri ini seperti sudah tidak memiliki lagi harapan untuk menegakkan hukum dan konstitusinya.
"Tiga tahun lalu pakar hukum tata negara Refli Harun pernah membongkar suap menyuap di MK. Saat itu banyak orang yang mencibirkan dan memaki Refly," kata Neta.
Tapi, penangkapan Rabu malam itu seolah membenarkan tudingan Refli. Tidak hanya itu, peristiwa itu menunjukkan mafia dan praktik mafia sudah masuk begitu jauh ke kehidupan elite dan pejabat tinggi negara, kata Neta.
Malapetaka
Lain halnya dengan anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch Emerson F Yuntho. Dia menyatakan penangkapan Akil adalah malapetaka konstitusi bagi Indonesia.
"Sekaligus juga melengkapi fakta bahwa korupsi telah terjadi di semua lembaga negara," tandas dia.
Ia pun mendesak KPK menelusuri dugan suap yang melibatkan Ketua MK dalam kasus-kasus yang lain. Emerson menduga, bukan kali ini saja AM terlibat dalam suap.
Emerson berpandangan lebih jauh. Dia ingin negeri ini meninjau ulang masuknya politisi ke beberapa lembaga negara. "Kami sendiri sudah menegaskan jangan pilih politisi di MK apalagi sebagai ketua MK," serunya.
Kendati demikian, Emerson masih berharap Mahkamah Konstitusi tetap bekerja seperti biasa, sekaligus berbenah dalam segala hal, khususnya memperkuat pengawasan internal untuk memastikan praktik-praktik kotor tak terjadi.
Sulit membantah adanya praktik-praktik kotor itu ketika KPK sendiri memergoki praktik kotor ini dengan terang benderang.
Menurut KPK, sebelum mereka mencucuk Akil Mochtar, penyidik KPK telah membuntuti Akil sejak Senin (30/9) sampai akhirnya ditangkap tangan di rumah dinasnya di Kompleks Widya Chandra. Bersama Akil juga ditangkap CHN dan CN.
CHN adalah anggota DPR RI, sedangkan CN pengusaha.
Di Widya Chandra itu, KPK menyita uang dolar Singapura yang sementara ditaksir bernilai Rp2-3 miliar. Uang sebesar ini diduga sebagai pemberian CHN dan CN kepada AM terkait sengketa pilkada di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
KPK juga melakukan operasi tangkap tangan di satu hotel di Jakarta Pusat. Di sini, dua orang ditahan. Mereka adalah HB yang merupakan kepala daerah dan DH yang merupakan pihak swasta.
Kejadian yang menimpa Ketua MK ini sungguh membuat miris dan mungkin pesimis bangsa ini terhadap penegakan hukum di negeri ini. Tetapi demi memupus budaya korupsi, bangsa ini semestinya optimistis bahwa masa depan bangsa tanpa korupsi bisa terwujud.
Runtuhnya rumah keadilan kita
3 Oktober 2013 17:01 WIB
Penyidik KPK Novel Baswedan (kiri) mengeledah rumah dinas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar di Jakarta (ANTARA/Dhoni Setiawan)
Oleh Riza Fahriza
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013
Tags: