Sampit (ANTARA) -
BPBD Kotawaringin Timur (Kotim) Provinsi Kalimantan Tengah melakukan evaluasi, asesmen atau penilaian ulang ke lokasi banjir yang merendam Desa Hanjalipan Kecamatan Kota Besi Kabupaten Kotawaringin Timur yang sudah sekitar sepekan belum menunjukkan tanda-tanda akan surut.

"Kami turunkan tim untuk asesmen -evaluasi dan analisa- ulang bersama wakil bupati,” kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kotim Multazam di Sampit, Rabu.
Bencana banjir mulai merendam wilayah utara Kotim sejak 17 Februari 2024 lalu, disebabkan oleh intensitas hujan tinggi dan air pasang sungai.

Daerah pertama yang melaporkan banjir adalah Kecamatan Cempaga Hulu, kemudian banjir meluas hingga terdata ada enam kecamatan dan 22 desa yang terendam banjir. Kecamatan tersebut antara lain, Kecamatan Cempaga Hulu, Cempaga, Tualan Hulu, Mentaya Hulu, Parenggean, dan Kota Besi.

Kendati demikian, berdasarkan laporan harian BPBD Kotim 27 Februari 2024, banjir di sebagian besar wilayah telah surut dan hanya menyisakan dua kecamatan dan tiga desa, yakni Kecamatan Parenggean meliputi Desa Bajarau dan Tehang, lalu Desa Hanjalipan Kecamatan Kota Besi.

Desa Hanjalipan merupakan salah satu kawasan paling rawan banjir di Kotim. Banjir di desa ini biasanya bertahan lebih lama dibanding daerah lainnya. Saat ini ketinggian debit air yang merendam desa tersebut berkisar 30 hingga 180 cm.

BPBD Kotim mencatat, pada 2022 banjir merendam Desa Hanjalipan hampir satu bulan lamanya, sehingga menghambat aktivitas warga setempat yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan.

Diperkirakan kondisi tahun ini pun tidak jauh berbeda, sehingga pemerintah daerah menaruh perhatian lebih untuk penanganan dampak banjir di Desa Hanjalipan.

“Sekarang sudah memasuki hari keenam banjir di Hanjalipan. Ini kan musim pancaroba, jadi frekuensi hujan memang cukup tinggi. BMKG juga mengisyaratkan bahwa potensi curah hujan di Kalteng cukup besar, tapi kita tetap berdoa agar banjir segera surut,” katanya.

Berbeda dengan banjir di wilayah hulu, menurutnya banjir di Desa Hanjalipan bukan disebabkan oleh tingginya curah hujan, karena frekuensi hujan di desa tersebut terbilang rendah.

Disebutkan, banjir di Desa Hanjalipan akibat adanya air kiriman dari wilayah hulu. Posisi Desa Hanjalipan berada di pertemuan dua sungai besar, yakni Sungai Mentaya dan Sungai Tualan, kondisi ini diperparah dengan pasang air Sungai Mentaya.

Berdasarkan informasi dari kepala Desa Hanjalipan, jalan poros di desa tersebut terendam banjir sehingga menghambat mobilitas orang maupun barang. Untuk melintasi jalan desa saja warga terpaksa menggunakan perahu.

Warga setempat sudah terbiasa dan menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi alam, termasuk dalam menghadapi situasi bencana seperti banjir.

Dengan kondisi geografis di Kotim, banjir merupakan bencana yang tidak bisa dihentikan, sehingga cara untuk menghadapinya adalah berharmonisasi dengan alam, dengan begitu warga akan cepat beradaptasi.

“Hal itulah yang dilakukan masyarakat di Desa Hanjalipan maupun masyarakat yang berada di daerah bantaran sungai, biasanya mereka punya kearifan lokal ketika menghadapi bencana terutama banjir,” katanya.

Kendati demikian, pemerintah daerah setempat tidak lantas lepas tangan. Bantuan berupa logistik dan pelayanan kesehatan tetap diberikan untuk membantu warga yang terdampak banjir.

Walaupun, di sisi lain juga dihadapkan dengan keterbatasan anggaran dan kenaikan harga bahan pokok, tapi BPBD Kotim tetap menyesuaikan dan memberikan bantuan semaksimal mungkin.

Pihaknya juga berkoordinasi dengan PLN untuk mengantisipasi situasi darurat yang berhubungan dengan aliran listrik di lokasi yang terdampak banjir.