Jakarta (ANTARA News) - Transfer teknologi dalam memproduksi alat utama sistem persenjataan bukan "isapan jempol" dan harus dimaksimalkan kegunaannya untuk Indonesia, kata pengamat masalah militer dari LIPI Jaleswari Pramodhawardani.

"Hal tersebut sudah menjadi syarat dari mekanisme pasar persenjataan secara global, kata Jaleswari pada diskusi yang diselenggarakan The Indonesian Institute di Jakarta, Rabu.

Walaupun masing-masing negara (produsen senjata) saling mencermati dan mencurigai perkembangan senjata negara lain, namun alih teknologi ibarat bonus yang diberikan,katanya.

Sejak 2012, Undang-Undang No. 16 Tahun 2012 mengenai Industri Pertahanan telah disahkan, dan legislasi itu dianggap menjadi peluang besar bagi bangsa untuk meningkatkan kemandirian dalam negeri, dengan dibantu oleh proses transfer teknologi dari negara lain.

Menurut Jaleswari, transfer teknologi alutsista antarnegara memang bukan perkara yang mudah, namun dengan kebutuhan peningkatan daya saing dalam negeri, hal ini harus diperjuangkan pemerintah.

Sebagai gambaran, ujar Jaleswari, negara produsen alutsista, seperti Amerika Serikat misalnya menerapkan transfer teknologi sebagai "bonus" dari pembelian alat. Hal ini juga karena mekanisme pasar, dimana produsen dan pemain lain di industri persenjataan begitu banyak, sehingga transfer teknologi menjadi kelebihan tersendiri.

"Kita sering mengkritik pembelian Sukhoi yang tidak ada senjatanya, memang seharusnya kita tidak melihat fisiknya saja, tapi lebih di dalamnya," ujar Jaleswari.

Lebih lanjut, Jaleswari menekankan, dengan sudah disahkannya UU Industri Pertahanan, konsistensi pemerintah sangat dibutuhkan dengan membuat peta implementasi UU tersebut.

Kebijakan yang dilakukan pemerintah China dalam meningkatkan persenjataan mereka juga dapat menjadi contoh yang baik bagi Indonesia.

"Kita perlu mencontoh China, dimana hingga 2050, mereka sudah membuat road map dan siap menjadi kekuatan militer besar," ujarnya.

(I029/Z003)