Medan (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi mengajak akademisi di Sumatera Utara untuk mengajukan permohonan penundaan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undangan Hukum Pidana (RUU KUHP).

"Penundaan perlu dilakukan karena melihat ada upaya sistemik yang kontraproduktif dalam penegakan hukum di Tanah Air," kata Wakil Ketua KPK, Adnan Pandu Praja, usai berdialog dengan sejumlah akademisi dan pakar hukum di Medan, Selasa.

Selain itu, pembahasan RUU KUHP tersebut juga dinilai tidak transparan dan tidak melibatkan peranan publik sebagaimana yang diberlakukan selama ini.

"Kita tidak tahu pembahasannya, tiba-tiba saja sudah mau `diketok` (disahkan)," katanya.

Menurut Pandu, KPK berkepentingan langsung dalam pembahasan RUU KUHP tersebut karena dianggap gerbang terakhir dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Bahkan, sejumlah negara telah menganggap KPK menjadi ikon pemberantasan tindak pidana korupsi di tingkat internasional.

Karena itu, tidak mengherankan jika sejumlah negara seperti Filipina, Pakistan, dan Timor Leste berupaya untuk belajar ke KPK dalam pemberantasan korupsi.

Namun sayangnya, KPK sendiri justru terkesan "dimusuhi" di Indonesia dengan adanya upaya untuk "mengebiri" kewenangan instansi pemberantasan korupsi tersebut. Upaya itu dapat terlihat dari draf RUU KUHP yang banyak berisi ketentuan yang mengurangi kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi.

Karena itu, KPK menginginkan DPR untuk mempublikasi seluruh perkembangan dan tahapan pembahasan RUU tersebut.

Selain itu, DPR juga diminta untuk menunda pembahasan RUU tersebut sampai terpilihnya anggota legislatif yang baru melalui Pemilu 2014.

"Pemerintah juga diharapkan agar menarik kembali RUU itu dan melibatkan publik untuk memberikan tanggapan," katanya.

Guru Besar Ilmu Hukum USU Prof Ningrum Natasya Sirait SH, MSi mengatakan, pihaknya merasa "kecolongan" dalam pembahasan RUU KUHP tersebut karena tidak melibatkan publik.

Keterburu-buruan dalam pembahasan pengesahan RUU tersebut juga kontraproduktif bagi anggota DPR yang terpilih dalam Pemilu 2014.

Disebabkan banyak kelemahan dan kekurangan, pihaknya berkeyakinan desakan untuk merevisi RUU tersebut jika telah disahkan akan cukup kuat.

"Nanti (anggota DPR) yang terpilih terkesan inkonsistensi kalau merevisi RUU itu," katanya.

Menurut Ningrum salah satu indikasi kecolongan publik dalam pembahasan RUU tersebut juga dapat dilihat dengan tidak dilibatkannya pemangku kepentingan terkait.

Meski RUU tersebut berisi tentang pemberantasan korupsi, narkoba, dan pencucian uang, tetapi instansi terkait seperti KPK, BNN, dan PPATK tidak dilibatkan.

"Kalau disahkan, tidak tertutup kemungkinan kami akan mengajukan judicial review," kata Pembantu Rektor IV USU itu.

Ketika dipertanyakan tentang kemungkinan adanya "tangan setan" yang terlibat dalam pembahasan RUU KUHP tersebut, Prof Ningrum tidak memungkirinya.

"Semua dimungkinkan. Bagaimana mungkin pembahasan RUU yang sangat penting ini tidak transparan," katanya.

Kabiro Hukum KPK, Chatarina Muliana mengatakan, draf RUU KUHP tersebut sangat kontraproduktif dalam menyukseskan penegakan hukum di Tanah Air.

Ia mencontohkan isi Pasal 763 yang berupaya untuk menghilangkan kewenangan KPK dalam menindak pencuri uang rakyat.

Demikian materi dalam Bab 31 yang berisi pasal-pasal yang banyak tumpang tindih.