Jakarta (ANTARA News) - Rencana pemerintah membuka akses bisnis gas bumi dapat mengancam posisi strategis PT PGN dalam menjaga kesinambungan pembangunan infrastruktur gas nasional serta berisiko menaikkan harga.

"Sebagai BUMN, kami sangat mendukung rencana pemerintah tersebut namun harus disesuaikan dengan peran strategis PGN sebagai pengembang infrastruktur gas," kata Head of Corporate Communications Perusahaan Gas Negara (PGN), Ridha Ababil di Jakarta, Minggu, mengomentari polemik soal rencana pemisahan fungsi transporter dan trader (unbundling) serta "open access" pipa pada bisnis gas bumi.

Menurut dia, PGN menjalankan perannya selama ini tanpa pernah membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) serta memperoleh "cost recovery" layaknya di bisnis migas lainnya. Dengan kemandiriannya itu, PGN telah membangun jaringan pipa transmisi dan distribusi sepanjang 6.000 km, unit penampungan dan regasifikasi terapung (Floating Storage Regastification Unit/FSRU) di Jawa Barat bekerja sama dengan Pertamina dan kini tengah menyelesaikan FSRU Lampung.

PGN selama ini berfungsi sebagai Aggregator Tarif Gas. Peran tersebut menciptakan keseimbangan harga gas kepada konsumen meskipun harga beli gas di hulu dari pemasok berbeda-beda. "Dengan harga yang tetap, konsumen dapat memanfaatkan gas secara efektif dan efisien, sehingga proses produksi tetap kompetitif," katanya.

Fungsi sebagai aggregator tarif gas itu yang membuat harga gas PGN kepada konsumen di beberapa daerah hampir sama, padahal besar pasokan dan harga dari pemasoknya berbeda.

Contohnya, di Sumatera Utara dengan jaringan pipa sepanjang 630 km gas yang mengalir hanya tujuh juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Sementara di Cirebon gas yang mengalir sebesar 3,5 MMSCFD dengan panjang jaringan pipa mencapai 400 km.

Menurut dia, pembangunan infrasruktur gas domestik sarat dengan risiko, seperti tingginya biaya investasi, sulitnya pembebasan lahan, faktor perizinan yang berbelit serta biaya operasi dan perbaikan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Terbukti, sampai saat ini belum ada perusahaan yang berani mengambil risiko besar untuk membangun infrastruktur gas. Bahkan beberapa proyek yang sudah ditetapkan pemenang tendernya berhenti di tengah jalan. Namun, dengan risiko besar dan tanpa jaminan pengembalian modal seperti halnya "cost recovery" PGN terus membangun infrastruktur gas bumi nasional.

Makanya, kata Ridha, selama ini pembangunan infrastruktur gas yang dilakukan PGN merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan kegiatan niaga gas. "Untuk membangun infrastruktur butuh biaya besar dengan risiko tinggi. Kami berhasil membangun ribuan kilometer pipa gas dan berbagai infrastruktur bernilai triliunan rupiah berkat adanya subsidi silang dari kegiatan niaga," ujarnya.

Ia mengingatkan untuk membangun infrastruktur gas bumi, PGN tidak serta merta akan meraih keuntungan. Sebab, untuk sampai pada pemanfaatan kapasitas pipa yang optimal butuh waktu bertahun-tahun.

Hal ini terjadi lantaran belum terciptanya sinergi antara pasokan, infrastruktur dan pasar. Selama proses optimalisasi pemanfaatan pipa gas itulah, PGN harus menanggung beban biaya yang sangat besar. Bahkan, PGN pernah membayar penalti kepada pemasok gas hingga senilai 100 juta dolar AS lantaran gas yang sudah dibeli tidak mampu diserap oleh pasar.

"Sebagai BUMN kami akan terus mendukung pemerintah meningkatkan pemanfaatan gas bumi. Namun, PGN tidak akan mampu menjalankan berbagai fungsi strategisnya jika terus direcoki oleh kepentingan segelintir pelaku bisnis tertentu. Jika ingin berbisnis gas mestinya ya harus berani membangun nfrastruktur, bukan memanfaatkan fasilitas BUMN untuk kepentingan sendiri," tegasnya.

Anggota Komisi Energi DPR, Satya Widya Yudha mengatakan, sebelum "unbundling" dan "open access" terhadap pipa gas milik PGN dilakukan, pemerintah harus membuat regulasi yang mewajibkan setiap pelaku usaha di sektor gas bumi memiliki atau membangun infrastruktur sendiri.

Pasalnya, selama ini mayoritas pelaku bisnis gas yaitu trader hanya melakukan transaksi jual beli gas dan menumpang fasilitas milik BUMN.

Apabila kondisi ini dibiarkan, maka pembangunan infrastruktur gas bumi akan terhenti karena tidak ada perusahaan yang mau membangun infrastruktur.

PGN tidak mau "open access" karena mereka merasa diperlakukan tidak adil. Oleh karena itu agar pipanya dapat dilakukan "open access", maka pemerintah harus mensyaratkan trader gas wajib membangun infrastruktur.

Selama ini, hampir semua trader gas tidak mempunyai infrastruktur. "Jangan sampai BUMN dirugikan dan yang menikmati untung hanya pihak tertentu," tegas Satya.

(F004/A026)