Ahli tegaskan selain ketua PN tak boleh tandatangani surat penyitaan
22 Februari 2024 15:51 WIB
Petugas PN Jaksel saat menyumpah Ahli Hukum Pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia Prof Suparji Ahmad ketika menjadi ahli dalam persidangan praperadilan Aiman Witjaksono di Jakarta, Kamis (22/2/2024). ANTARA/Khaerul Izan
Jakarta (ANTARA) - Ahli Hukum Pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia Prof Suparji Ahmad menegaskan bahwa selain ketua pengadilan negeri (PN) tidak boleh menandatangani atau mengeluarkan surat persetujuan penyitaan.
"Dalam KUHAP, tidak ada pihak lain yang boleh menandatangani kecuali ketua pengadilan setempat," kata Suparji di Jakarta, Kamis, ketika memberi keterangan sebagai Ahli Hukum Pidana dalam persidangan praperadilan Aiman Witjaksono di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) , Kamis.
Suparji mengatakan, ketentuan Pasal 38 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu "penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat".
Menurut dia, pasal tersebut telah jelas bahwa yang berwenang menandatangani hanya ketua pengadilan negeri, bukan wakil maupun pihaknya lainnya dan itu dalam rangka menjaga hak asasi serta pertanggungjawaban yang melekat.
Sehingga kata Suparji, ketika ada surat persetujuan penyitaan yang ditandatangani oleh selain ketua, maka tidak sah atau tidak bisa dijadikan pegangan.
Baca juga: Aiman hadirkan saksi ahli hukum pidana dan pers di PN Jaksel
"Dalam KUHAP seperti itu adanya. KUHAP telah terang benderang hanya ketua pengadilan setempat, kalau ditandatangani oleh wakil maka tidak bisa," katanya.
Selain permasalahan tersebut, Ahli Hukum Pidana Suparji juga memberikan keterangan lainnya yang diajukan oleh Tim Hukum Aiman Witjaksono, seperti penyitaan empat barang bukti milik Aiman.
Padahal, dalam surat persetujuan penyitaan hanya ada satu item yang disita yaitu berupa telepon genggam atau gawai, sehingga itu juga menjadi pertimbangan pengacara Aiman mengajukan praperadilan.
"Pembuktian terkait barang-barang yang ada berkaitan dengan tidak pidana, apa saja yang harus dicantumkan, maka harus secara rinci dan detail," katanya.
Sebelumnya, Ketua Tim Kuasa Hukum Aiman Witjaksono, Finsensius Mendrofa mengatakan bahwa penyitaan telepon genggam, media sosial, dan email oleh Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya cacat hukum formil.
Baca juga: Tim Kuasa Hukum Aiman akan hadirkan dua saksi ahli pada pembuktian
Menurut dia, surat penyitaan yang dikeluarkan oleh PN Jaksel yang menjadi dasar penyitaan telepon genggam milik Aiman Witjaksono tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.
Finsen mengatakan, seharusnya yang menandatangani surat tersebut adalah Ketua PN Jaksel, bukan Wakil Ketua PN Jaksel, apalagi dalam surat penyitaan tersebut tidak dicantumkan bahwa Wakil Ketua PN Jaksel sebagai penjabat atau pelaksana tugas.
Untuk itu kata Finsen, pihaknya mengajukan praperadilan tersebut kepada PN Jaksel, agar apa yang telah disita oleh polisi bisa dikembalikan lagi.
"Penyitaan oleh termohon (Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya) cacat formil," katanya.
"Dalam KUHAP, tidak ada pihak lain yang boleh menandatangani kecuali ketua pengadilan setempat," kata Suparji di Jakarta, Kamis, ketika memberi keterangan sebagai Ahli Hukum Pidana dalam persidangan praperadilan Aiman Witjaksono di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) , Kamis.
Suparji mengatakan, ketentuan Pasal 38 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu "penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat".
Menurut dia, pasal tersebut telah jelas bahwa yang berwenang menandatangani hanya ketua pengadilan negeri, bukan wakil maupun pihaknya lainnya dan itu dalam rangka menjaga hak asasi serta pertanggungjawaban yang melekat.
Sehingga kata Suparji, ketika ada surat persetujuan penyitaan yang ditandatangani oleh selain ketua, maka tidak sah atau tidak bisa dijadikan pegangan.
Baca juga: Aiman hadirkan saksi ahli hukum pidana dan pers di PN Jaksel
"Dalam KUHAP seperti itu adanya. KUHAP telah terang benderang hanya ketua pengadilan setempat, kalau ditandatangani oleh wakil maka tidak bisa," katanya.
Selain permasalahan tersebut, Ahli Hukum Pidana Suparji juga memberikan keterangan lainnya yang diajukan oleh Tim Hukum Aiman Witjaksono, seperti penyitaan empat barang bukti milik Aiman.
Padahal, dalam surat persetujuan penyitaan hanya ada satu item yang disita yaitu berupa telepon genggam atau gawai, sehingga itu juga menjadi pertimbangan pengacara Aiman mengajukan praperadilan.
"Pembuktian terkait barang-barang yang ada berkaitan dengan tidak pidana, apa saja yang harus dicantumkan, maka harus secara rinci dan detail," katanya.
Sebelumnya, Ketua Tim Kuasa Hukum Aiman Witjaksono, Finsensius Mendrofa mengatakan bahwa penyitaan telepon genggam, media sosial, dan email oleh Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya cacat hukum formil.
Baca juga: Tim Kuasa Hukum Aiman akan hadirkan dua saksi ahli pada pembuktian
Menurut dia, surat penyitaan yang dikeluarkan oleh PN Jaksel yang menjadi dasar penyitaan telepon genggam milik Aiman Witjaksono tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.
Finsen mengatakan, seharusnya yang menandatangani surat tersebut adalah Ketua PN Jaksel, bukan Wakil Ketua PN Jaksel, apalagi dalam surat penyitaan tersebut tidak dicantumkan bahwa Wakil Ketua PN Jaksel sebagai penjabat atau pelaksana tugas.
Untuk itu kata Finsen, pihaknya mengajukan praperadilan tersebut kepada PN Jaksel, agar apa yang telah disita oleh polisi bisa dikembalikan lagi.
"Penyitaan oleh termohon (Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya) cacat formil," katanya.
Pewarta: Khaerul Izan
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2024
Tags: