Jakarta (ANTARA News) - Keberanian pemerintah memberikan insentif fiskal dalam berbagai bentuk kegiatan investasi akan meningkatkan daya saing Indonesia menghadapi persaingan ketat dengan negara-negara lain seperti Cina, India, dan Vietnam. Hal itu dikemukakan Ketua Yayasan Matsushita Gobel, Jusman SD, pada seminar mengenai peningkatan daya saing di sela-sela Pameran Produksi Indonesia, di Jakarta, Selasa. Sayangnya, menurut dia, masih banyak orang yang menilai insentif fiskal yang diminta pengusaha sebagai tanda kemanjaan, sehingga ada sebagian menilai insentif tidak perlu diberikan. Hal itu, kata dia, menyebabkan berbagai kegiatan investasi tidak mendapat insentif, termasuk pemanfaatan kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D), kemitraan dengan usaha kecil dan lain-lain. "Ini menjadi masalah. Padahal kita bersaing dengan India, Cina, dan sebagainya yang melakukan pendekatan kebijakan industri harmonis dengan kebijakan fiskal," ujar Jusman. Oleh karena itu, ia menilai untuk meningkatkan daya saing industri nasional, tidak hanya dibutuhkan kebijakan industri nasional tapi juga dibutuhkan keselarasan dengan kebijakan fiskal yang menentukan keberhasilan target industri. "Kalau kita lihat sekarang Cina fokus pada (pengembangan) hardware (perangkat keras), India mau ambil software (perangkat lunak), tapi Indonesia nampaknya tidak jelas mau kemana. Ini suatu persoalan," katanya. Jusman yang juga mantan Dirut PT Dirgantara Indonesia itu mengatakan untuk mendorong kebangkitan industri dan ekonomi nasional pemerintah harus bekerjasama dengan dunia usaha. "Ada yang beranggapan sinergi pemerintah dan dunia usaha adalah bentuk kolusi baru, tapi tanpa kerjasama itu sulit bagi Indonesia untuk bangkit," katanya. Jusman juga mengatakan untuk meningkatkan daya saing Indonesia ada sejumlah hal penting lainnya yang harus diperhatikan yaitu perbaikan iklim investasi, penurunan tingkat suku bunga perbankan, dan pembenahan infrastruktur ekonomi, disamping insentif fiskal.(*)