Tokoh: Masyarakat adat perlu terlibat dalam pembangunan berkelanjutan
15 Februari 2024 18:59 WIB
Ketua Unit Pengelola Masyarakat Hukum Adat (MHA) Malaumkarta Torianus Kalami (kiri) bersama Menkop UKM Teten Masduki (ANTARA/HO-Torianus Kalami)
Jakarta (ANTARA) - Ketua Unit Pengelola Masyarakat Hukum Adat (MHA) Malaumkarta Torianus Kalami mengharapkan konsistensi pemimpin terpilih dan keterlibatan masyarakat adat untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang menjadi program dari capres dan cawapres yang mengikuti kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
"Misalnya ekonomi berkelanjutan, konsepnya seperti apa, itu perlu indikator jelas. Saya yakin di tingkat tim capres dan cawapres sudah paham, tetapi persoalannya ini adalah mereka konsisten tidak dengan apa yang mereka sudah sampaikan," kata Torianus ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis.
Baca juga: Tokoh: Realisasi UU masyarakat adat perlu jadi fokus pemimpin terpilih
Pemuda asli Suku Moi di Kampung Malaumkarta di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, itu menyebut alam menjadi bagian sangat penting dalam kehidupan Suku Moi. Terdapat kebiasaan di mana orang tua sebelum berpulang menyampaikan nasihat yaitu boleh miskin harta tetapi tidak boleh miskin pengetahuan atau tanah.
Untuk itu, menurut dia, pembangunan yang berkelanjutan dengan segala aspeknya, termasuk upaya pengurangan emisi maupun adanya wacana potensi perdagangan karbon perlu melibatkan suara dari masyarakat hukum adat. Keterlibatan masyarakat adat dapat dijamin jika terdapat payung hukum yang pasti termasuk ketika RUU Masyarakat Hukum Adat disahkan.
Baca juga: Pakar: Pelibatan masyarakat adat belum maksimal meski dijamin UU
"Masyarakat adat dan kementerian/lembaga harus berperan aktif, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kelautan dan Perikanan misalnya kalau kita bicara kawasan laut," kata salah satu pendiri Perkumpulan Generasi Muda (PGM) Malaumkarta itu.
Sebelumnya, regulasi yang mengatur masyarakat hukum adat tersebar di sejumlah undang-undang dan aturan setingkat menteri. Termasuk Undang-Undang Nomor 41 tentang Kehutanan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Baca juga: Tokoh adat dorong masyarakat Papua tanam sagu sumber karbohidrat
Regulasi penggunaan lahan bagi masyarakat adat dan hutan juga tersebar di beberapa kementerian, termasuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Terkait penetapan hutan adat, KLHK telah mengeluarkan 131 SK hutan adat yang tersebar di 18 provinsi dan 40 kabupaten dengan total luasan sekitar 244.195 hektare.
"Misalnya ekonomi berkelanjutan, konsepnya seperti apa, itu perlu indikator jelas. Saya yakin di tingkat tim capres dan cawapres sudah paham, tetapi persoalannya ini adalah mereka konsisten tidak dengan apa yang mereka sudah sampaikan," kata Torianus ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis.
Baca juga: Tokoh: Realisasi UU masyarakat adat perlu jadi fokus pemimpin terpilih
Pemuda asli Suku Moi di Kampung Malaumkarta di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, itu menyebut alam menjadi bagian sangat penting dalam kehidupan Suku Moi. Terdapat kebiasaan di mana orang tua sebelum berpulang menyampaikan nasihat yaitu boleh miskin harta tetapi tidak boleh miskin pengetahuan atau tanah.
Untuk itu, menurut dia, pembangunan yang berkelanjutan dengan segala aspeknya, termasuk upaya pengurangan emisi maupun adanya wacana potensi perdagangan karbon perlu melibatkan suara dari masyarakat hukum adat. Keterlibatan masyarakat adat dapat dijamin jika terdapat payung hukum yang pasti termasuk ketika RUU Masyarakat Hukum Adat disahkan.
Baca juga: Pakar: Pelibatan masyarakat adat belum maksimal meski dijamin UU
"Masyarakat adat dan kementerian/lembaga harus berperan aktif, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kelautan dan Perikanan misalnya kalau kita bicara kawasan laut," kata salah satu pendiri Perkumpulan Generasi Muda (PGM) Malaumkarta itu.
Sebelumnya, regulasi yang mengatur masyarakat hukum adat tersebar di sejumlah undang-undang dan aturan setingkat menteri. Termasuk Undang-Undang Nomor 41 tentang Kehutanan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Baca juga: Tokoh adat dorong masyarakat Papua tanam sagu sumber karbohidrat
Regulasi penggunaan lahan bagi masyarakat adat dan hutan juga tersebar di beberapa kementerian, termasuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Terkait penetapan hutan adat, KLHK telah mengeluarkan 131 SK hutan adat yang tersebar di 18 provinsi dan 40 kabupaten dengan total luasan sekitar 244.195 hektare.
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2024
Tags: