Surabaya (ANTARA) - Akhir-akhir ini sering kita mendengar istilah "14 Februari 2024, Hari Kasih Sayang dan Hari Kasih Suara". Sebenarnya, istilah itu sudah ada sejak tujuh tahun lalu atau 2017, tepatnya saat pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak.

Bedanya, saat itu pilkada digelar 15 Februari 2017, atau sehari setelah Hari Kasih Sayang. Istilah "Hari Kasih Sayang dan Hari Kasih Suara" sudah didengungkan, bahkan dipopulerkan, terutama oleh kalangan anak-anak muda.

Pilkada serentak 2017 waktu itu diselenggarakan di 101 daerah tingkat provinsi, kabupaten dan kota.

Tahun ini, istilah sama juga disebut-sebut, bahkan "lebih sempurna" karena tanggalnya bersamaan dengan Valentine Day. Ya, pemilu serentak tahun ini digelar pada 14 Februari 2024.

Jika Valentine Day umumnya disematkan untuk Hari Kasih Sayang dengan seseorang yang kita cintai, pada momen pesta demokrasi ini kita diajak untuk memberikan "kasih sayang" khusus kepada calon pemimpin yang kita percayai.

Bentuk kasih sayangnya berupa pemberian suara di tempat pemungutan suara (TPS), Rabu, 14 Februari 2024, mulai pukul 07.00 hingga 13.00. Datang ke TPS dan gunakan hak suara kita untuk memilih calon pemimpin yang kita cintai.

Tak tanggung-tanggung, lima suara kita berikan ke mereka. Suara pertama untuk calon legislatif (DPRD kabupaten/kota), surat suaranya berwarna hijau. Lalu, suara kedua untuk calon legislatif (DPRD provinsi) yang surat suaranya berwarna biru.

Suara ketiga untuk calon legislatif tingkat pusat (DPR RI), yang surat suaranya berwarna kuning. Kemudian, suara keempat untuk calon anggota DPD RI (senator) yang surat suaranya berwarna merah.

Suara kasih sayang terakhir adalah warna abu-abu untuk memilih calon presiden dan calon wakil presiden. Khusus surat suara warna tersebut, TPS seluruh Indonesia, bahkan di luar negeri sama.

Pengalaman Pemilu 2019, saat itu sama, mencoblos di lima surat suara. Per pemilih membutuhkan waktu 2-5 menit. Bahkan, untuk yang sudah usia lanjut bisa lebih. Wajar, sebab setiap surat suara berukuran lebar harus dibuka terlebih dahulu, kemudian memilih, dan melipatnya kembali seperti semula.

Jangankan untuk pemilih usia lanjut, bagi mereka yang tidak pernah ikut simulasi atau sosialisasi pencoblosan, tentu akan kebingungan dan membutuhkan waktu.

Faktanya, pada hari pemungutan suara Pemilu 2019, mayoritas petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) di TPS baru selesai melaksanakan tugasnya hingga dini hari, termasuk ada yang sampai pagi. Saat itu ada petugas yang sakit, bahkan meninggal dunia, diduga akibat kelelahan.

Tidak ingin hal serupa terjadi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat langkah antisipatif, salah satunya persyaratan untuk menjadi petugas KPPS, dibatasi usia maksimal 55 tahun per hari pemungutan suara.

Karena itu jangan heran jika kita bakal melihat lebih banyak anak muda yang menjadi petugas KPPS. Selain cekatan, usia-usia muda memang memiliki tenaga ekstra, sehingga diharapkan dapat menjalankan tugas hingga tuntas dan tetap dalam kondisi fisik prima.

Langkah lainnya, seperti di Kota Surabaya, pemerintah setempat menyiagakan puskesmas selama 24 jam operasional, ditunjang mobilisasi tenaga kesehatan ke masing-masing TPS. Bakal ada tim yang berkeliling bersama tim dari kecamatan dan kelurahan ke setiap TPS.

Tim kesehatan berjumlah tiga hingga empat orang untuk masing-masing TPS, terdiri dari dokter dan perawat. Dinkes juga mempersiapkan layanan berupa kanal pelaporan kegawatdaruratan di setiap puskesmas, melalui layanan "Command Center 112".

Namanya ikhtiar, apapun harus dilakukan. Seorang petugas KPPS juga harus pandai-pandai menjaga kesehatan diri. Tidak mudah bertugas sebagai KPPS, sebab bekerjanya tidak hanya pada hari pemungutan suara, tapi sebelum, hingga sesudah penyelenggaraan.

Biasanya, yang paling melelahkan justru pada H-1 coblosan, sebab KPPS harus mendirikan TPS yang tak sekadar asal-asalan. Mulai membangun terop, baliho, hingga meja kursi demi kenyamanan pemilih. Belum lagi TPS tematik atau unik, tentu akan mengeluarkan tenaga dan biaya lebih banyak.

Saat hari H harus benar-benar sudah siap beberapa jam sebelum waktu pemungutan suara dimulai. Jika pukul 07.00 TPS sudah harus dibuka, maka KPPS sudah harus siap 1-2 jam sebelumnya untuk mempersiapkan logistik pemilu. Kotak suara, bilik suara, hingga formulir-formulir berbagai model harus benar-benar siap.

Belum lagi saat setelah pemungutan suara dilangsungkan. Tidak hanya asal membuka surat suara, lalu menghitungnya, tapi harus benar-benar cermat demi menjauhkan potensi kecurangan pemilu.


Ayo ke TPS

14 Februari 2024 menjadi tanggal, bulan dan tahun yang sangat berarti. Hanya dengan waktu enam jam pelaksanaan (pukul 07.00-13.00), nasib bangsa Indonesia selama lima tahun ke depan dipertaruhkan.

Dinamika-dinamika politik yang terjadi selama ini tak ada artinya jika kita sebagai warga negara Indonesia tak menyalurkan hak politiknya.

Tidak datang ke TPS, tidak memilih, dan tidak mencoblos tidak dilarang, namun tak ada alasan bagi kita yang sudah memenuhi syarat untuk tidak memilih.

Siapapun pilihan kita, itulah yang kita anggap terbaik. Bagi yang berbeda pilihan juga harus saling hormat dan tak membawa ke ranah konflik.

Semua berharap, hajatan demokrasi terbesar di Tanah Air ini benar-benar membawa hasil sebagaimana harapan bersama. Tak ada caleg dan pasangan capres-cawapres yang ingin rakyatnya tidak sejahtera, tak ada caleg dan pasangan capres-cawapres yang ingin negaranya tidak makmur. Semua bermuara pada tujuan mulia, untuk kepentingan bangsa dan negara.

Semua caleg, semua pasangan capres-cawapres adalah orang-orang hebat dan memiliki niatan sama, yakni membawa Indonesia menjadi lebih baik, rakyatnya sejahtera, dan menjadi negara yang "Baldatun thoyyibatun warobbun ghafur", yaitu negara adil dan makmur, yang diridhoi Allah SWT.

Saatnya memilih, ayo berbondong-bondong ke TPS, bersama orang terkasih, mari kasih suara demi negeri yang kita sayangi.