Jakarta (ANTARA News) – Dua film dari tiga sutradara berbeda negara mencoba mengabadikan kisah penderita skizofrenia.

Robert Lemelson, antropolog dari UCLA University, menyajikan “Memory of My Face”, salah satu dari enam seri film etnografi “Afflictions: Culture and Mental Illness in Indonesia” dalam pemutaran film di Teater Kecil, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa.

Film hasil risetnya bersama dr. Mahar Agusno, SpKJ(K) dan psikolog perkembangan Ninik Supartini selama 12 tahun dari tahun 1993 ini menampilkan Bambang Rujito (43), penderita skizofrenia yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat.

Lemelson membagi dua fase hidup Bambang, saat menjadi pasien di Rumah Sakit Jiwa, Magelang, dan kehidupannya di Bekasi setelah pulang dari rumah sakit.

Obrolan-obrolan Lemelson bersama Bambang disajikan dalam bentuk documenter. Bambang menghuni RSJ Magelang sekitar tahun 2002. Ia didiagnosa menderita skizofrenia sekitar tahun 2000.

“Saya ingat 90 persen apa yang dilakukan. Saat itu saya emosi. Yang muncul itu apa yang saya baca, dengar, dan itu terlalu saya resapi,” kata Bambang saat berada di rumahnya, dalam film.

Sementara Lilik Suwardi, penderita skizofrenia dalam “Split Mind” karya Andri Sofyansah dan Nia Sari, mahasiwsa Institut Kesenian Jakarta, dengan gamblang menceritakan gejala-gejala yang ia alami.

“Skizofrenia adalah gangguan halusinasi. Saya seperti ada di kamar dan dengar suara-suara. Saya lumpuh dengan suara-suara itu dan nggak bisa berbuat apa-apa,” kata Lilik dalam film.

Bahkan, keluarga Lilik awalnya mengira itu bukan gejala medis. Sulit bagi Lilik meyakinkan kedua orang tuanya untuk membawanya ke rumah sakit.

Kedua orang tuanya menyarankannya pergi ke paranormal. Lemelson, yang ditemui sebelum film dimulai mengatakan, berdasarkan hasil risetnya di Bali, masih ada pengidap skizofrenia yang dikira “kerasukan roh halus”.

Hal itu juga dialami Nia, yang salah satu anggota keluarganya mengidap penyakit tersebut. Film menurut Nia menjadi media untuk memberi tahu masyarakat bahwa skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang bersifat medis.

“Mau ngapus stigma kalau skizofrenia itu bukan penyakit guna-guna, tapi medis,” kata Nia tentang film yang menjadi tugas akhirnya itu.

Menurut Lemelson, berdasarkan penelitiannya di Bali dan Jawa Tengah, selain akses terhadap obat, keluarga menjadi salah satu kunci untuk perawatan penderita skizofrenia.

“Keluarga yang mendukung, kehangatan dan kebersamaan itu sangat mendukung,” katanya.

Lilik menambahkan selain keluarga, komunitas juga dapat menjadi keluarga baru untuk mendukung secara emosi. Lilik sendiri tergabung dalam Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI).

“Edukasi pasien berulang kali harus minum obat,” kata dr. Mahar Agusno. Selain faktor keluarga, jam kerja yang fleksibel menurut Lemelson juga membantu pemulihan pasien skizofrenia.