Jakarta (ANTARA) - Beberapa tahun terakhir, krisis perubahan iklim menjadi isu yang marak digaungkan di Indonesia. Mulai dari kemarau berkepanjangan hingga naiknya permukaan laut, menjadi serpihan fenomena yang menandai bahwa ancaman krisis iklim memang nyata adanya.

Pergeseran dari ketergantungan bahan bakar fosil menuju sumber energi baru terbarukan (EBT) telah menjadi perhatian utama kebijakan pemerintah beberapa tahun terakhir.

Ini juga didorong oleh hasil "Kesepakatan Paris 2015", saat Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP 21) yang membatasi kenaikan suhu sampai 1,5 derajat celcius. Salah satu rekomendasinya yaitu melalui transisi energi guna mengejar target emisi nol karbon (net zero emission/NZE).

Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) 2022, Indonesia juga berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan dapat mencapai 43,20 persen pada 2030 dengan dukungan internasional.


Mempercepat transisi EBT
​​​​

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI (ESDM) telah menetapkan target bauran kebijakan EBT sebesar 23 persen pada 2025 mendatang. Sebagai negara yang dianugerahi SDA melimpah, Indonesia tentu perlu menyadari bahwa keberlimpahan bukan berarti tak terbatas. Apalagi jika tak dikelola dengan baik, maka akan berakhir habis.

Salah satu hambatan yang timbul berasal dari aspek pembiayaan karena bertransisi penuh menuju EBT terbilang tidak murah. Dalam hal ini, peran PT Sarana Multi Infrastuktur (SMI) sebagai perusahaan pembiayaan sangat diperlukan. Salah satu Special Mission Vehicle (SMV) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ini diberi mandat sebagai Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platform Manager.

ETM Country Platform merupakan kerangka kerja yang menyediakan pembiayaan untuk mempercepat transisi energi nasional, dengan memobilisasi sumber pendanaan komersial dan non-komersial secara berkelanjutan. Untuk itu, BUMN tersebut memiliki tanggung jawab memimpin berbagai proyek pendanaan yang mempunyai aspek keberlanjutan lingkungan.

Direktur Utama SMI Edwin Syahruzad menyampaikan, sampai akhir 2023, portfolio pembiayaan SMI mencakup berbagai proyek yang memiliki potensi untuk penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).

Proyek-proyek ini terdiri atas proyek EBT dan transportasi ramah lingkungan dengan total komitmen pembiayaan sekitar Rp13,3 triliun, beserta total outstanding sekitar Rp8,2 triliun. Di antara banyaknya pembiayaan tersebut, infrastruktur pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) menjadi salah satu proyek yang difokuskan perseroan.

Melihat adanya peluang yang diberikan energi panas Matahari, perusahaan pelat merah ini turut berfokus dalam pembiayaan PLTS sebagai masa depan sumber energi di Indonesia. Edwin menilai PLTS di Indonesia memiliki potensi untuk menyerap sumber energi Matahari hingga 10 kali lipat dari panas Bumi, yaitu mampu mencapai 207,8 giga watt (GW).

“Sebagai negara tropis yang disinari Matahari sepanjang tahun, potensi tenaga surya di Indonesia bisa menghasilkan sekitar 640.00 terawatt hour (TWh) per tahun,” kata Edwin saat dihubungi ANTARA.

Oleh karena itu, realisasi pembiayaan spesifik SMI untuk PLTS hingga akhir 2023 tercatat sebesar Rp859,64 miliar.

Lebih jauh, komitmen ini sejalan dengan apa yang diharapkan Pemerintah melalui Rencana Strategis Energi Nasional, bahwa PLTS memang menjadi program prioritas Kementerian ESDM untuk menggenjot bauran energi baru dan energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada tahun 2025.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana menyampaikan, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 saat ini, semua danau, waduk, dan bendungan yang ada di Pulau Jawa akan masuk dalam rencana penyediaan listrik melalui PLTS Terapung. Perhitungan potensinya sebesar 1.900 mega watt (MW).

"Contoh proyek yang saat ini sedang berjalan adalah PLTS Terapung Cirata, untuk harga sudah masuk di bawah biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkitan Jawa. Nah, akan lebih baik lagi ke depan, dikombinasikan di situ ada PLTA dan kita bangun PLTS t1erapung jadi bisa saling mengisi," jelasnya.

Dadan mengamini bahwa pendekatan paling cepat untuk mengejar target energi bersih Indonesia yakni melalui program pemanfaatan energi surya. Sebab, sebagai negara dengan iklim tropis, matahari bersinar cukup sering dan terik sehingga tidak terlalu sulit untuk melakukan studi kelayakan dalam membangun PLTS.


Pemerataan PLTS Dalam pembiayaan infrastruktur berkelanjutan, SMI menerapkan platform SDG Indonesia One di mana perseroan menggabungkan pendanaan dari publik dan privat (blended finance) untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) di Indonesia. SMI diberikan mandat untuk terlibat dalam pencapaian SDGs sebanyak 16 dari total 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB (SDGs).

Terakhir, perusahaan telah menggelontorkan dana sebesar Rp41 miliar untuk ATW Alam Hijau (Alam Energy) yang digunakan untuk pembangunan serta pengoperasian instalasi PLTS bagi para pelanggan industri di Indonesia. Pembiayaan SMI terhadap Alam Energy sudah dalam status efektif sekaligus menjadi wujud kepedulian perusahaan BUMN ini terhadap pembangunan hijau.

Perusahaan tersebut juga mendukung percepatan transisi energi di Indonesia, salah satunya dengan berperan dalam mendorong pembangunan pembangkit listrik energi hijau, termasuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

Secara keseluruhan, perusahaan itu telah menetapkan komitmen untuk menggali potensi pembiayaan infrastruktur panel surya di seluruh wilayah Indonesia. Hingga saat ini, ada tiga proyek PLTS berjalan yang dibiayai oleh SMI.

Pertama, proyek PLTS Sumbawa yang merupakan pembangkit listrik tenaga surya fotovoltaik berkapasitas 26 megawatt peak (MWp). Berlokasi di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). PLTS ini merupakan fasilitas fotovoltaik surya terbesar di Indonesia dengan nilai proyek Rp223,77 miliar dan nilai komitmen Rp179,64 miliar.

Proyek kedua, BUMN ini memberikan pembiayaan kepada PLTS yang tersebar di pulau Jawa dengan nilai proyek Rp348,8 miliar serta komitmen Rp280 miliar.

Proyek ketiga, perusahaan negara itu membiayai pengadaan, pemasangan, dan pengoperasian sistem panel tenaga surya di wilayah Jawa dengan nilai proyek Rp2,18 triliun dan komitmen Rp400 miliar.

Sampai saat ini, PLTS masih dinilai banyak pihak menjadi salah satu cara untuk mewujudkan transisi penuh menuju EBT bagi Indonesia. Pakar energi baru terbarukan (EBT) Surya Darma menilai bahwa implementasi PLTS dapat menjadi solusi yang efektif untuk dekarbonisasi.

Pasalnya, PLTS dapat memanfaatkan energi matahari yang tersedia secara luas di Indonesia dan gratis sebagai sumber energi primer.

Sumber energi ini memiliki sumber daya yang cukup besar dan dapat mendukung sampai lebih dari 3.000 giga Watt (GW). PLTS juga dapat dibangun pada waktu yang lebih cepat dibandingkan sumber daya energi lainnya, karena itu akan sangat efektif mendukung pelaksanaan transisi energi.

Di samping itu, PLTS juga dapat diimplementasikan dalam berbagai skala. Mulai dari instalasi rumah tangga hingga infrastruktur pembangkit listrik berskala besar. Fleksibilitas inilah yang memungkinkan adopsi PLTS di berbagai sektor, termasuk rumah tangga, bisnis, industri, dan infrastruktur publik jauh lebih efektif.

Menurut Surya, proses fotovoltaik dalam PLTS yang dipasang di atap kawasan industri juga mampu mempercepat terwujudnya emisi nol bersih. Pemerintah sendiri telah lama mencanangkan transisi menuju penggunaan EBT, baik itu melalui Kebijakan Energi Nasional (KEN), maupun penetapan target NZE pada 2060.

Pun demikian, yang perlu dicermati saat ini adalah justru dari sisi seberapa besar komitmen industri untuk mulai bertransisi menggunakan PLTS sebagai sumber energi baru. Dalam bauran kebijakan EBT, pemerintah menargetkan implementasi PLTS Atap untuk menunjang industri.

Oleh karena itu, dalam Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB) SMI, salah satu perusahaan BUMN ini menetapkan beberapa strategi pembiayaan hijau yang diarahkan untuk mewujudkan cita-cita emisi nol karbon 2060.

Adapun strategi yang pertama, mengurangi porsi pembiayaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang memanfaatkan sumber dari batubara, dalam nilai outstanding maksimum 5 persen pada akhir tahun 2024.

Strategi kedua, meningkatkan portfolio pembiayaan berkelanjutan dengan target proyek hijau (green project) dan proyek sosial (social project) dengan outstanding Rp9,925 triliun atau minimal 8 persen dari portfolio pembiayaan SMI di akhir tahun 2024.

Kemudian strategi ketiga, SMI terus memastikan seluruh rencana program yang tercantum dalam SDG Indonesia One untuk tahun 2024 dapat terlaksana dengan baik.