Penyatuan bandara-stasiun terkendala lahan
10 September 2013 20:56 WIB
ilustrasi Wacana pindah bandara Sejumlah penumpang memasuki pesawat Batavia Air rute Yogyakarta - Jakarta di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, Rabu (29/2). (FOTO ANTARA/Noveradika)
Semarang (ANTARA News) - Pakar tata kota Prof Eko Budihardjo menilai penyatuan bandara dengan stasiun memang ideal sebagaimana di negara-negara maju, tetapi penerapan di Kota Semarang akan terkendala lahan.
"Sekarang misalnya Bandara Ahmad Yani dengan stasiun kereta api disatukan karena ada jalur KA lewat situ. Ideal memang. Tetapi, lahannya yang ada kan tidak memungkinkan, sangat terbatas," katanya di Semarang, Selasa.
Menurut mantan Rektor Universitas Diponegoro Semarang itu, perlu pemikiran secara integratif-komprehensif dengan mendesain ulang jika memang titik-titik transportasi itu mau disatukan, yakni dengan membangun yang baru.
Ia menjelaskan pembicaraan untuk pembangunan penyatuan titik-titik transportasi itu juga harus melibatkan multi-sektor, seperti pemerintah daerah, Dinas Perhubungan, PT Kereta Api Indonesia, dan pengelola bandara.
"Kalau mau dipindah ya sekalian saja bandaranya (Bandara Ahmad Yani, red.), misalnya di Demak atau Kendal. Tetapi, harus secara integratif dipertimbangkan, kalau memang mau disatukan, misalnya bandara dan stasiun," katanya.
Eko Budihardjo yang juga dikenal sebagai budayawan itu mengakui konsep pembangunan titik transportasi memang sudah menganut sistem semacam itu sehingga masyarakat diberikan kemudahan mengakses transportasi.
"Di negara maju, misalnya. Begitu turun dari bandara, bisa memilih mau naik KA, naik bus, MRT (mass rapid transit), atau naik kendaraan pribadi. Ya karena konsepnya dari awal sudah diatur ideal semacam itu," katanya.
Kelebihan penyatuan titik-titik transportasi itu, kata dia, masyarakat bisa lebih mudah mengakses moda transportasi sehingga lokasinya disatukan atau memang diatur berdekatan, misalnya bandara dengan stasiun KA.
"Kendalanya, ya memang memerlukan biaya yang sangat mahal, terutama untuk pembangunan awalnya (initial cost). Namun, kalau berpikirnya jangka panjang ya tidak masalah. Justru akan menguntungkan," kata Eko.
Sementara itu, Kepala Humas PT KAI Daops IV Semarang Sapto Hartoyo mengakui pernah ada wacana pembangunan stasiun baru di dekat Bandara Ahmad Yani Semarang, namun belum ada kelanjutannya hingga sekarang.
"Dulu memang pernah ada usulan semacam itu. Namun, bandaranya katanya juga mau digeser. Apalagi, kalau soal prasarana, seperti `track`, perlintasan, hingga pembangunan stasiun kewenangan Ditjen Perkeretaapian," katanya.
(KR-ZLS/B015)
"Sekarang misalnya Bandara Ahmad Yani dengan stasiun kereta api disatukan karena ada jalur KA lewat situ. Ideal memang. Tetapi, lahannya yang ada kan tidak memungkinkan, sangat terbatas," katanya di Semarang, Selasa.
Menurut mantan Rektor Universitas Diponegoro Semarang itu, perlu pemikiran secara integratif-komprehensif dengan mendesain ulang jika memang titik-titik transportasi itu mau disatukan, yakni dengan membangun yang baru.
Ia menjelaskan pembicaraan untuk pembangunan penyatuan titik-titik transportasi itu juga harus melibatkan multi-sektor, seperti pemerintah daerah, Dinas Perhubungan, PT Kereta Api Indonesia, dan pengelola bandara.
"Kalau mau dipindah ya sekalian saja bandaranya (Bandara Ahmad Yani, red.), misalnya di Demak atau Kendal. Tetapi, harus secara integratif dipertimbangkan, kalau memang mau disatukan, misalnya bandara dan stasiun," katanya.
Eko Budihardjo yang juga dikenal sebagai budayawan itu mengakui konsep pembangunan titik transportasi memang sudah menganut sistem semacam itu sehingga masyarakat diberikan kemudahan mengakses transportasi.
"Di negara maju, misalnya. Begitu turun dari bandara, bisa memilih mau naik KA, naik bus, MRT (mass rapid transit), atau naik kendaraan pribadi. Ya karena konsepnya dari awal sudah diatur ideal semacam itu," katanya.
Kelebihan penyatuan titik-titik transportasi itu, kata dia, masyarakat bisa lebih mudah mengakses moda transportasi sehingga lokasinya disatukan atau memang diatur berdekatan, misalnya bandara dengan stasiun KA.
"Kendalanya, ya memang memerlukan biaya yang sangat mahal, terutama untuk pembangunan awalnya (initial cost). Namun, kalau berpikirnya jangka panjang ya tidak masalah. Justru akan menguntungkan," kata Eko.
Sementara itu, Kepala Humas PT KAI Daops IV Semarang Sapto Hartoyo mengakui pernah ada wacana pembangunan stasiun baru di dekat Bandara Ahmad Yani Semarang, namun belum ada kelanjutannya hingga sekarang.
"Dulu memang pernah ada usulan semacam itu. Namun, bandaranya katanya juga mau digeser. Apalagi, kalau soal prasarana, seperti `track`, perlintasan, hingga pembangunan stasiun kewenangan Ditjen Perkeretaapian," katanya.
(KR-ZLS/B015)
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013
Tags: