Indef nilai pertumbuhan ekonomi RI sepanjang 2023 belum maksimal
5 Februari 2024 18:08 WIB
Tangkapan layar Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti dalam Diskusi Publik Ekonom Perempuan Indef yang dipantau secara daring di Jakarta, Kamis (28/12/2023). (ANTARA/Imamatul Silfia)
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti memandang pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2023 belum maksimal sebab masih mengandalkan konsumsi rumah tangga sebagai sumber utama pertumbuhan dari sisi pengeluaran.
"Menurut saya, pertumbuhan 5 persen ini belum maksimal. Kenapa? Karena mesin pertumbuhannya baru konsumsi rumah tangga. Sementara investasi, ekspor, itu belum. Government spending juga masih kurang," kata Esther saat dijumpai ANTARA di Jakarta, Senin.
Pada Senin, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05 persen secara kumulatif sepanjang 2023. Konsumsi rumah tangga tumbuh menjadi 4,82 persen pada 2023, dengan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 2,55 persen.
Esther memandang bahwa konsumsi rumah tangga tidak dapat selamanya diandalkan untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Hal itu sudah terbukti pada saat pandemi COVID-19 di mana Indonesia mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: Indef: BUMN pilar penting agar sistem ekonomi RI berjalan seimbang
Baca juga: Indef sebut tiga isu harus muncul dalam debat terakhir Pilpres 2024
"Ketika COVID-19, semua mobilitas terbatasi maka konsumsi juga akan terbatas sehingga itu membuat pertumbuhan ekonomi kita nyungsep. Coba kalau pada saat itu masih ada mesin pertumbuhan ekonomi investasi, ekspor tetap jalan, atau pengeluaran pemerintah tetap jalan maka saya rasa tidak terlalu nyungsep," kata dia.
Sementara itu dari sisi produksi, BPS mencatat industri pengolahan atau manufaktur menjadi sumber pertumbuhan tertinggi yakni sebesar 0,95 persen. Pertumbuhan industri pengolahan disebut terdorong oleh kuatnya permintaan domestik dan global.
Terkait hal itu, Esther juga memandang bahwa pertumbuhan sektor industri pengolahan tetap perlu dipacu. Dia menyampaikan kekhawatirannya atas fenomena deindustrialisasi dini.
Di sisi lain, menurut Esther, investasi yang masuk ke industri pengolahan juga cenderung padat modal. Padahal, Indonesia membutuhkan investasi padat karya di sektor tersebut sehingga harapannya dapat mengurangi angka pengangguran.
"Untuk sektornya yang harus di-generate lebih banyak adalah industri manufaktur. Tetapi kita mengalami deindustrialisasi dini. Kenapa industri manufaktur? Karena padat karya," katanya.
"Orang butuh kerja lebih banyak, lapangan pekerjaan agar lebih banyak. Sementara investasi yang masuk, menurut data, ini belum ramah untuk pasar tenaga kerja. Mereka lebih banyak padat modal," kata Esther.
Baca juga: Indef: Jumlah serapan tenaga kerja formal harus jadi perhatian capres
Baca juga: Indef: Diversifikasi pangan kunci atasi kenaikan harga beras
"Menurut saya, pertumbuhan 5 persen ini belum maksimal. Kenapa? Karena mesin pertumbuhannya baru konsumsi rumah tangga. Sementara investasi, ekspor, itu belum. Government spending juga masih kurang," kata Esther saat dijumpai ANTARA di Jakarta, Senin.
Pada Senin, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05 persen secara kumulatif sepanjang 2023. Konsumsi rumah tangga tumbuh menjadi 4,82 persen pada 2023, dengan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 2,55 persen.
Esther memandang bahwa konsumsi rumah tangga tidak dapat selamanya diandalkan untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Hal itu sudah terbukti pada saat pandemi COVID-19 di mana Indonesia mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: Indef: BUMN pilar penting agar sistem ekonomi RI berjalan seimbang
Baca juga: Indef sebut tiga isu harus muncul dalam debat terakhir Pilpres 2024
"Ketika COVID-19, semua mobilitas terbatasi maka konsumsi juga akan terbatas sehingga itu membuat pertumbuhan ekonomi kita nyungsep. Coba kalau pada saat itu masih ada mesin pertumbuhan ekonomi investasi, ekspor tetap jalan, atau pengeluaran pemerintah tetap jalan maka saya rasa tidak terlalu nyungsep," kata dia.
Sementara itu dari sisi produksi, BPS mencatat industri pengolahan atau manufaktur menjadi sumber pertumbuhan tertinggi yakni sebesar 0,95 persen. Pertumbuhan industri pengolahan disebut terdorong oleh kuatnya permintaan domestik dan global.
Terkait hal itu, Esther juga memandang bahwa pertumbuhan sektor industri pengolahan tetap perlu dipacu. Dia menyampaikan kekhawatirannya atas fenomena deindustrialisasi dini.
Di sisi lain, menurut Esther, investasi yang masuk ke industri pengolahan juga cenderung padat modal. Padahal, Indonesia membutuhkan investasi padat karya di sektor tersebut sehingga harapannya dapat mengurangi angka pengangguran.
"Untuk sektornya yang harus di-generate lebih banyak adalah industri manufaktur. Tetapi kita mengalami deindustrialisasi dini. Kenapa industri manufaktur? Karena padat karya," katanya.
"Orang butuh kerja lebih banyak, lapangan pekerjaan agar lebih banyak. Sementara investasi yang masuk, menurut data, ini belum ramah untuk pasar tenaga kerja. Mereka lebih banyak padat modal," kata Esther.
Baca juga: Indef: Jumlah serapan tenaga kerja formal harus jadi perhatian capres
Baca juga: Indef: Diversifikasi pangan kunci atasi kenaikan harga beras
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2024
Tags: