Jakarta (ANTARA News) - Sejak tak lagi memimpin surat kabar, sebulan lalu, saya punya banyak waktu untuk berkeliling dan bertandang ke berbagai kalangan yang sudah lama tak terkunjungi.
Pekan lalu saya memenuhi undangan silaturrahim kaum santri dan pemangku adat wilayah Banten Selatan, di perbatasan Provinsi Banten dan Jawa Barat.
Sambil memandangi rembulan yang seolah memberi pesona tersendiri atas teluk Sukawayana, kami berbincang tentang banyak hal. Mulai dari persoalan fluktuasi harga pangan (terutama kedelai, bawang putih, dan bawang merah) yang sempat berimbas pada inflasi, sampai ke persoalan politik.
Ada juga yang nyeletuk soal rencana ancaman Amerika Serikat, yang mengancam akan melakukan invasi militer ke Suriah. Juga, tentang perseteruan kaum Sufyani dan Wahabi berebut kuasa di Mesir.
Karena sejak berlangsung gerakan reformasi media massa lebih menjadikan politik sebagai panglima, berita dan informasi politik terasa gencar masuk ke dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Juga di sini.
Ada yang menarik perhatian saya. Kaum Syarikat Islam yang sedang bergiat mengembangkan kewirausahaan, itu sangat memegang teguh prinsip-prinsip yang pernah diajarkan HOS Tjokroaminoto kepada Bung Karno dan murid-muridnya yang lain.
Mereka menjadikan nilai-nilai kebangsaan dan humanitas agama sebagai ukuran dalam menilai pemimpin bangsa ini ke depan, yang dikenal dengan prinsip nasionalisme religius.
Pemilihan Umum 2014 (termasuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden) Abi dan jamaahnya sama berpendapat, Presiden dan Wakil Presiden ke depan, haruslah seorang yang memahami hakekat demokrasi kebangsaan dan demokrasi kerakyatan berlandaskan spiritualitas atau religiusitas yang nyata.
Siapapun boleh menggadang-gadang dirinya menjadi orang yang pantas memimpin bangsa ini, tetapi mereka harus teruji merupakan pribadi yang kokoh dalam menggerakkan kembali kebangkitan kewirausahaan yang menjadi basis perjuangan kebangsaan dulu.
Mereka harus menjamin mampu memberi akses rakyat terhadap modal, pasar, dan informasi dengan berbagai policy design yang mendorong kemakmuran secara berkeadilan. Mereka juga harus berkomitmen memajukan budaya nasional sebagai basis peradaban bangsa.
"Tentu, sebagai muslim, kita berharap yang akan menjadi pemimpin bangsa ini adalah mereka yang mampu menjamin memajukan kehidupan beragama. Menjauhkan rakyat dari pecah belah," ujar Abi.
Saya mengangguk menyimak apa yang disampaikan Abi dan berbagai pendapat yang berlangsung dalam dialog cerdas dan proporsional itu. Seorang jamaah dengan lantang mengungkap yang tak kalah penting dari semua itu adalah: siapa saja yang merasa mampu memimpin bangsa ini harus membuktikan, mereka tidak pernah tersangkut ruswah (kolusi dan korupsi).
"Mereka juga harus berkomitmen memperkuat pertahanan dan keamanan nasional, membebaskan bangsa ini dari konflik antar golongan, dan mampu memberantas preman," ujar seorang jamaah yang nampak bersahaja dan duduk di sudut ruangan.
Tak terurus
Usai mengikuti majelis taklim sejumlah jamaah yang muda usia, mengajak saya berbincang sambil menghabiskan malam di tepian pantai Cimaja. Mereka mengingatkan saya, betapa selama ini kehidupan masyarakat di situ masih banyak yang masih dibelit kemiskinan.
Padahal, jarak lokasi permukiman mereka relatif tak jauh dari Ibukota Negara Jakarta. Bahkan, tempat mereka tinggal termasuk daerah wisata, yang kini nyaris terabaikan.
Pemindahan ibukota kabupaten Sukabumi ke Palabuan Ratu, yang dimaksudkan menjadikan daerah ini sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi, nyaris tak terasa. Memang, pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi berada di situ, tetapi Bupati lebih senang menghabiskan waktu dan aktivitasnya di kota Sukabumi.
Jarang sekali Bupati menyambangi desa-desa yang seharusnya menjadi sentra percepatan pertumbuhan ekonomi lokal.
Infrastruktur jalan ke Palabuan Ratu - dari arah Sukabumi maupun Lebak nyaris tak terurus. Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten, seolah tak berdaya untuk membenahi akses ke wilayah ini. Padahal, potensi alam daerah ini tak kalah dibandingkan dengan daerah lain. Ironis memang.
Di wilayah ini berdiri Ina Samudera Beach Hotel yang dibangun Bung Karno hampir bersamaan dengan pembangunan Monas. Di daerah ini juga Bung Karno mendirikan Pasanggrahan Tenjoresmi di atas lahan seluas 1.500 meter. Seperti halnya Masjid Istiqlal, Monas, dan Ina Samudera Beach Hotel, pesanggrahan ini dirancang duo arsitek Silaban dan RM Soedarsono.
Usai subuh, menjelang pergi ke Banten, para tetua di daerah pakidulan ini bertanya: "Kang, iraha Presiden SBY bade tetirah di Tenjoresmi. Geura atuh.." Kapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan bertandang ke pesanggrahan Tenjoresmi, Palabuan Ratu.
Mereka berharap dan merindukan Presiden SBY mau tetirah akhir pekan di bibir pantai Selatan, itu seperti dulu Presiden Soekarno dan Abdurrahman Wahid pernah melakukannya.|
*) Jurnalis
Merindu SBY di Pakidulan
9 September 2013 17:20 WIB
Jurnalis N. Syamsuddin Ch. Haesy (Istiwewa)
Oleh N. Syamsuddin Ch. Haesy *)
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013
Tags: