Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan ada enam juta hektare lahan gambut yang berpotensi untuk direstorasi yang separuhnya berada di area konsesi perkebunan dan kehutanan. Periset Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN Nurul Silva Lestari mengatakan kepemilikan dengan luas 13,4 juta hektare lahan basah menjadikan Indonesia pemilik lahan gambut tropis terluas di dunia.

"Hasil penelitian ini diharapkan menjadi rekomendasi bagi para pengambil kebijakan untuk memperkuat regulasi restorasi gambut lebih efektif," ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Jumat.

Nurul memaparkan prioritas daerah berlahan gambut yang harus segera direstorasi secara berurutan adalah Provinsi Riau seluas 2,4 juta hektare, Provinsi Kalimantan Tengah 1 juta hektare, dan Provinsi Sumatera Selatan 0,9 juta hektare. Sedangkan, sisanya tersebar mulai dari Pulau Kalimantan, Sumatra, dan Papua.

Baca juga: BRIN: Kegiatan antropogenik picu kebakaran hutan dan lahan

Baca juga: BRIN kaji potensi abu terbang untuk komoditas bawang merah
Lahan basah memiliki peranan penting sebagai ginjal bumi yang mampu memurnikan air, melindungi pantai, hingga menyimpan karbon. Nilai jasa lingkungan itulah yang dapat menyejahterakan manusia.

Pada tahun 2023, BRIN melalui Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), dan The Nature Conservancy melakukan analisis biofisik untuk mendapatkan potensi luas area restorasi gambut di seluruh Indonesia.

"Penelitian bersama itu dimuat dalam jurnal Restoration Ecology dengan judul Opportunities and risk management of peat restoration in Indonesia: Lessons learned from peat restoration actors pada November 2023,” kata Nurul.

Selama ini kewenangan merestorasi lahan basah ada di tangan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Lembaga itu mendapatkan mandat untuk merestorasi lahan gambut seluas 1,2 juta hektare.

Model-model restorasi lahan gambut yang dilakukan di Indonesia antara lain pembasahan ulang, penanaman kembali, dan revitalisasi penghidupan masyarakat yang mendukung restorasi.

Hasil kajian analisis data yang ada, kata Nurul, prioritas restorasi adalah lahan bekas terbakar. Restorasi perlu dilakukan untuk mencegah kebakaran berulang dan memperlambat degradasi gambut.

“Pada lahan gambut yang rusak dan berada di area konsesi tentu tidak memungkinkan dilakukan penanaman kembali lantaran lahannya sudah berubah menjadi perkebunan atau hutan tanaman. Praktik yang mungkin dilakukan adalah manajemen muka air gambut melalui pembuatan sekat kanal,“ papar Nurul.

Proses restorasi juga mempertimbangkan Kesatuan Hidrologis Gambut (ekosistem gambut yang pada umumnya terletak di antara dua sungai, di antara sungai dengan laut atau rawa-rawa).

Pengelolaan lahan dalam satu kesatuan hidrologis gambut ini akan saling mempengaruhi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.

“Kami menyediakan pilihan-pilihan area restorasi berdasarkan tiga variabel utama yaitu luas jaringan kanal, area bekas kebakaran, dan lahan yang berstatus kritis,” kata Manajer Senior Karbon Kehutanan dan Perubahan Iklim YKAN Nisa Novita yang menjadi bagian dari peneliti restorasi lahan gambut tersebut.

Nisa juga menyoroti isu terbesar yang perlu diperhatikan dalam asesmen risiko dalam restorasi masih menyangkut permasalahan teknis, manajemen, dan sosial.

Temuan itu menunjukkan pelaku restorasi gambut perlu serius menyoroti masalah teknis seperti kejadian kebakaran, serta ketinggian muka air pada musim kemarau dan hujan.

“Pada konteks manajemen, para pelaku restorasi harus berkolaborasi untuk menyelaraskan program mereka yang saling berhubungan serta ketiadaan program restorasi gambut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah," kata Nisa.

"Supaya sukses, restorasi gambut perlu dikerjakan bersama lintas sektor dan lintas wilayah,” ucapnya.

Kesuksesan restorasi gambut akan mempercepat tercapainya target komitmen iklim Indonesia yang termuat dalam dokumen kontribusi yang ditetapkan secara nasional atau nationally determined contributions (NDC) khususnya pada sektor hutan dan penggunaan lahan lainnya.

Berdasarkan penelitian YKAN dan mitra, restorasi gambut berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca hingga mencapai 172 juta ton setara karbon dioksida per tahun.*

Baca juga: BRIN: Modifikasi cuaca jadi solusi permanen atasi karhutla

Baca juga: BRIN-YKAN jalin kolaborasi untuk restorasi gambut di Kalimantan Barat