Indef: Diversifikasi pangan kunci atasi kenaikan harga beras
2 Februari 2024 11:37 WIB
Ilustrasi - Salah seorang pedagang menunjukkan beras kualitas medium yang saat ini dijual dengan harga Rp15.000/kg di Pasar Sidodadi, Cilacap, Jawa Tengah, Rabu (31/1/2024). ANTARA/Sumarwoto
Jakarta (ANTARA) - Direktur Program Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai strategi diversifikasi pangan merupakan salah satu kunci dalam menangani lonjakan harga beras yang sedang terjadi saat ini.
“Saran konkret untuk mengurangi tekanan ekonomi akibat kenaikan harga beras, menurut saya kita tidak harus makan beras. Ada kan macam-macam sumber karbohidrat, tidak hanya dari beras, bisa dari singkong, sorgum. Jadi, saran konkretnya adalah diversifikasi pangan,” kata Esther dihubungi di Jakarta, Jumat.
Menurut Esther, strategi diversifikasi pangan memiliki potensi untuk menciptakan kestabilan pada pasokan pangan dan mengurangi risiko inflasi yang dapat muncul seiring dengan kenaikan harga beras.
Baca juga: Bapanas memperpanjang bansos beras untuk tekan inflasi
Esther memberikan contoh pada masyarakat Papua yang sebaiknya tidak dipaksa untuk mengonsumsi beras, melainkan diberi kebebasan untuk tetap makan sagu sesuai dengan kebiasaan mereka.
Begitu pula dengan masyarakat Nusa Tenggara yang dulu terbiasa makan nasi jagung. Esther berpendapat bahwa mereka seharusnya diberi keleluasaan untuk mempertahankan pola konsumsi tersebut.
“Jadi harus ada diversifikasi pangan sehingga kalau ada kenaikan harga beras ya kita bisa lebih santai,” ucap Esther.
Baca juga: BI: Pemerintah pastikan ketersediaan pasokan beras kendalikan inflasi
Dia menuturkan bahwa konsep diversifikasi pangan bukan hanya sebagai solusi praktis, tetapi juga sebagai strategi untuk menciptakan ketahanan pangan yang lebih luas dan fleksibel, dengan begitu dapat terwujud swasembada beras.
Selain diversifikasi pangan, Esther menjelaskan beberapa kebijakan yang bisa mengontrol harga beras adalah swasembada pangan dengan memastikan suplay atau stok beras di masyarakat tetap aman; kedua, distribusi beras tidak terhambat.
Ketiga, memastikan biaya transportasi tetap terjaga karena hal tersebut akan berpengaruh pada kenaikan harga komoditas serta mengendalikan permintaan meskipun terbilang susah karena jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat.
Ia berharap Indonesia bisa mengalami swasembada beras seperti pada kejayaannya pada tahun 1984, dimana saat itu Indonesia mendapat penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian internasional atau Food and Agriculture Organization (FAO).
“Tapi sekarang kita adalah importir beras, kalau kita bisa memproduksi beras sendiri, maka kita lebih mudah untuk mengontrol harga beras dan bisa memenuhi pangan masyarakat dari produksi dalam negeri sendiri,” tutur Esther.
Menurutnya dampak kenaikan harga beras terhadap ekonomi rumah tangga masyarakat akan sangat signifikan apalagi rumah tangga miskin 50 persen lebih pendapatannya dialokasikan untuk konsumsi pangan.
“Kita harus penuhi perut kita sendiri dari produksi dalam negeri, jadi jangan mengandalkan pangan dari negara lain, kita harus melakukan swasembada pangan,” kata Esther.
Baca juga: Bapanas sebut bantuan pangan beras untuk kendalikan harga
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa kenaikan harga komoditas pangan termasuk beras terjadi akibat faktor cuaca dan rusaknya beberapa akses infrastruktur sehingga menghambat distribusi komoditas pangan.
Plt Kepala BPS Amalia A. Widyasanti saat menyampaikan Berita Resmi Statistik di Jakarta, Kamis (1/2), menjelaskan secara umum kenaikan harga beras terjadi di 28 provinsi, sedangkan harga beras di 10 provinsi lainnya menunjukkan penurunan. Kemudian, seluruh provinsi di Pulau Jawa dan Bali Nusra disebut mengalami kenaikan harga beras.
Amalia menyampaikan tingginya harga beras dipengaruhi oleh suplai yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan permintaan yang tinggi.
Salah satu isu yang menyebabkan tingginya harga beras adalah beberapa negara penghasil beras menahan ekspornya sehingga menyebabkan pasar global relatif naik. Sedangkan faktor pendukung dari dalam negeri lantaran produksi beras terhalang oleh El Nino.
“Saran konkret untuk mengurangi tekanan ekonomi akibat kenaikan harga beras, menurut saya kita tidak harus makan beras. Ada kan macam-macam sumber karbohidrat, tidak hanya dari beras, bisa dari singkong, sorgum. Jadi, saran konkretnya adalah diversifikasi pangan,” kata Esther dihubungi di Jakarta, Jumat.
Menurut Esther, strategi diversifikasi pangan memiliki potensi untuk menciptakan kestabilan pada pasokan pangan dan mengurangi risiko inflasi yang dapat muncul seiring dengan kenaikan harga beras.
Baca juga: Bapanas memperpanjang bansos beras untuk tekan inflasi
Esther memberikan contoh pada masyarakat Papua yang sebaiknya tidak dipaksa untuk mengonsumsi beras, melainkan diberi kebebasan untuk tetap makan sagu sesuai dengan kebiasaan mereka.
Begitu pula dengan masyarakat Nusa Tenggara yang dulu terbiasa makan nasi jagung. Esther berpendapat bahwa mereka seharusnya diberi keleluasaan untuk mempertahankan pola konsumsi tersebut.
“Jadi harus ada diversifikasi pangan sehingga kalau ada kenaikan harga beras ya kita bisa lebih santai,” ucap Esther.
Baca juga: BI: Pemerintah pastikan ketersediaan pasokan beras kendalikan inflasi
Dia menuturkan bahwa konsep diversifikasi pangan bukan hanya sebagai solusi praktis, tetapi juga sebagai strategi untuk menciptakan ketahanan pangan yang lebih luas dan fleksibel, dengan begitu dapat terwujud swasembada beras.
Selain diversifikasi pangan, Esther menjelaskan beberapa kebijakan yang bisa mengontrol harga beras adalah swasembada pangan dengan memastikan suplay atau stok beras di masyarakat tetap aman; kedua, distribusi beras tidak terhambat.
Ketiga, memastikan biaya transportasi tetap terjaga karena hal tersebut akan berpengaruh pada kenaikan harga komoditas serta mengendalikan permintaan meskipun terbilang susah karena jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat.
Ia berharap Indonesia bisa mengalami swasembada beras seperti pada kejayaannya pada tahun 1984, dimana saat itu Indonesia mendapat penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian internasional atau Food and Agriculture Organization (FAO).
“Tapi sekarang kita adalah importir beras, kalau kita bisa memproduksi beras sendiri, maka kita lebih mudah untuk mengontrol harga beras dan bisa memenuhi pangan masyarakat dari produksi dalam negeri sendiri,” tutur Esther.
Menurutnya dampak kenaikan harga beras terhadap ekonomi rumah tangga masyarakat akan sangat signifikan apalagi rumah tangga miskin 50 persen lebih pendapatannya dialokasikan untuk konsumsi pangan.
“Kita harus penuhi perut kita sendiri dari produksi dalam negeri, jadi jangan mengandalkan pangan dari negara lain, kita harus melakukan swasembada pangan,” kata Esther.
Baca juga: Bapanas sebut bantuan pangan beras untuk kendalikan harga
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa kenaikan harga komoditas pangan termasuk beras terjadi akibat faktor cuaca dan rusaknya beberapa akses infrastruktur sehingga menghambat distribusi komoditas pangan.
Plt Kepala BPS Amalia A. Widyasanti saat menyampaikan Berita Resmi Statistik di Jakarta, Kamis (1/2), menjelaskan secara umum kenaikan harga beras terjadi di 28 provinsi, sedangkan harga beras di 10 provinsi lainnya menunjukkan penurunan. Kemudian, seluruh provinsi di Pulau Jawa dan Bali Nusra disebut mengalami kenaikan harga beras.
Amalia menyampaikan tingginya harga beras dipengaruhi oleh suplai yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan permintaan yang tinggi.
Salah satu isu yang menyebabkan tingginya harga beras adalah beberapa negara penghasil beras menahan ekspornya sehingga menyebabkan pasar global relatif naik. Sedangkan faktor pendukung dari dalam negeri lantaran produksi beras terhalang oleh El Nino.
Pewarta: Muhammad Harianto
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2024
Tags: