Yogyakarta (ANTARA News) - Sistem perizinan tambang di daerah perlu diperketat sebab dapat menjadi sektor sumber pendapatan negara yang melimpah, kata Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad.

"Sebagai konsekuaensi otonomi daerah, banyak perusahaan tambang yang diizinkan sepihak oleh pemerintah daerah atau kabupaten setempat tanpa mewajibkan membayar royalti kepada negara," katanya sesusai memberikan ceramah pada kuliah perdana mahasiswa baru Pascasarjana UGM di Yogyakarta, Kamis.

Oleh karena itu, kata dia Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam program 2013--2015 akan konsern memantau sektor strategis nasional yang di antaranya menyangkut ketahan energi dan lingkungan yang terdiri atas energi, migas, pertambangan dan kehutanan.

Menurut dia, hingga saat ini 50 persen perusahaan tambang yang mendapatkan izin dari pemerintah di daerah tidak membayar royalti kepada negara.

"Hampir 50 persen perusahaan tambang tidak bayar royalti. Kalau ditanya mereka mengaku sudah membayar kepada pemerintah daerah atau kabupaten setempat sebagai upeti,"katanya.

Sementara itu ironisnya perekonomian masyarakat di sekitar pertambangan juga masih terpuruk atau masih jauh dari kategori sejahtera.

"Banyak pemerintah daerah atau kabupaten yang kaya-kaya karena mendapatkan upeti dari pengusaha-pengusaha tambang. Sementara kesejahteraan masyarakat serta infrastruktur di daerah setempat masih terpuruk,"katanya.

Padahal ,menurut Abraham apabila sumber daya alam (SDA) Indonesia khususnya pertambangan dapat dikelola 100 persen oleh negara dsertai dengan upaya pengetatan perizinan tambang maka kesejahtaraan rakyat akan meningkat signifikan.

Sesuai penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KPK, apabila Blok Cepu, Blok Mahakam, Blok Madura dikelola 100 persen negara, ditambah pengetatan pembayaran pajak atau royalti terhadap perusahaan tambang di Sulawesi dan Kalimantan maka sumber pendapatan Indonesia dapat mencapai sekitar Rp20.000 triliun per tahun.

"Dengan demikian penghasilan rakyat Indonesia per orang dapat mencapai Rp20 juta per bulan. Namun sayangnya sampai sekarang 75 persen rata-rata masih dimiliki asing,"katanya.
(KR-LQH/H008)