Jakarta (ANTARA News) - Buuum...! Palu gada menimpa dan menohok ubun-ubun terdakwa mantan Kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri Irjen Djoko Susilo (DS). Jenderal bintang dua itu divonis 10 tahun penjara dan didenda Rp500 juta subsider kurungan enam bulan.

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta juga memerintahkan agar negara menyita harta kekayaan DS senilai Rp200 miliar.

Ini artinya, vonis DS kurang dari duapertiga tuntutan penjara yang diminta jaksa penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu pidana penjara selama 18 tahun dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan ditambah membayar uang pengganti sebesar Rp32 miliar dengan subsider lima tahun kurungan.

Selain dimiskinkan harta bendanya, DS dimelaratkan hak politiknya sebagai warganegara. Ada juga tuntutan bahwa DS tidak lagi punya hak politik untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik.

Dengan bermodalkan fatsun "demi memenuhi rasa keadilan" bagi semua anggota masyarakat tanpa membeda-bedakan, sejumlah anggota masyarakat bereaksi lewat media televisi, media cetak, dan media sosial.

Bertajuk seputar vonis yang dijatuhkan kepada Djoko Susilo, seorang warga asal Bekasi dalam temu dialog pagi di sebuah stasiun televisi swasta mengusulkan kepada pemerintah agar menghadirkan para koruptor di setiap perayaan tujuh belas Agustusan. "Tujuannya agar mereka merasa malu," katanya dengan nada bicara berapi-api.

Dua pembicara lainnya mengusulkan agar para begundal koruptor yang tajir karena memang terbukti nilep duit rakyat diharuskan menyapu jalan raya dengan mengenakan baju bertuliskan "koruptor" atau "tahanan KPK".

"Kita tidak ingin mereka yang terbukti mengorupsi uang rakyat kemudian cengar-cengir tebar senyum sana senyum sini, ketika ditaburi kamera wartawan manakala digelandang dari gedung KPK," kata seorang pemirsa yang mengaku berdomisili di Bekasi.

Tidak kalah garang dan nyerempet-nyerempet gila, ketika sejumlah warga masyarakat menulis sejumlah komentar di sebuah portal berita mengenai berita bertajuk "daftar 48 aset Djoko yang dirampas negara karena dianggap berasal dari tindak pidana korupsi."

"Rakus amat kau Djok,...nggak ingatkah kau anggotamu di jalanan mungutin recehan. Pejabat Negara PALING SERAKAH di dunia, yang ketawa-ketawa di depan kamera,.... di mana kemaluannya?" kata seseorang yang memakai inisial Matau den satu.

"Jangan-jangan ini belum seberapa, masih banyak lagi yang lain nih temennya,...(yg lain/temen-temennya lagi pada sibuk ngumpetin hartanya dan cari alesan bin alibi u ngejawab KPK. Wwakakakakakak,...ayo buruan keburu ketahuan ntar," tulis Matau den dua.

"Busyet dah, panjang amat daftar nya Mas Djoko, kayak belanjaan Nyak gw tuh," kata pembaca lainnya. Ketiga orang ini merespons 48 aset Djoko yang dirampas negara karena dianggap berasal dari tindak korupsi. Silakan, warga masyarakat lainnya mencari tahu dengan mengunduh lewat mesin pencari lewat kata kunci "48 aset Djoko Susilo, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri".

Sekali lagi, setelah membaca rincian 48 aset Djoko Susilo, warga bisa nyerocos dengan menggunakan ujaran logat Betawi bernuansa getir, "bujuk buneng". Artinya, alangkah bagusnya cerita itu? Bagus, bercampur tanya, demikian serakahkah tervonis DS mengumpulkan harta dari hasil mengorupsi uang negara? Aje gile!

Ya, aje gile, artinya perlu langkah gila untuk mengganjar para koruptor dengan memanfaatkan momen dari hukuman Djoko yang ditulis oleh sebuah media cetak nasional sebagai hukuman antiklimaks.

Demikian mengguritanya korupsi di negeri ini, sampai-sampai lembaga penegak hukum termasuk KPK menempuh sejumlah langkah, antara lain mewajibkan para tersangka kasus dugaan korupsi untuk mengenakan baju tahanan oranye serupa rompi bertuliskan "Tahanan KPK".

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto saat peluncuran baju tahanan itu mengatakan, KPK sengaja mengganti warna baju tahanan dari putih menjadi oranye agar tampak lebih mencolok.

Diharapkan, baju tahanan baru berwarna oranye ini dapat lebih menciptakan efek jera bagi para pemakainya. Selain itu, penggunaan warna putih untuk baju tahanan KPK ini pernah menuai protes dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Nah, mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq pernah mengenakan baju tahanan terbaru ketika memasuki gedung KPK, paa Selasa (28/5/2013).

Ia menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dan pencucian uang kuota impor daging sapi. Berbeda dengan sebelumnya yang mengenakan baju warna putih, Luthfi kini memakai baju tahanan berwarna oranye dipadu hitam.

Bukan hanya Luthfi, baju tahanan serupa dikenakan kepada tersangka lainnya, seperti hakim Pengadilan Negeri Bandung Setyabudi Tejocahyono dan Manajer PT The Master Steel yang beberapa waktu lalu tertangkap tangan KPK.

Negeri ini juga pernah menempuh asa gila dan ide gila untuk memberangus tikus-tikus koruptor. Pada 17 Oktober 2006, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mulai menayangkan foto dan menyebarkan data para buronan tindak pidana korupsi yang putusan perkaranya telah berkekuatan hukum tetap.

Data dan foto 14 belas koruptor tersebut akan ditayangkan di televisi dan media massa dengan frekuensi sepekan sekali.

Keempat belas koruptor itu, adalah Sudjiono Timan (Dirut PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), Eko Edi Putranto (Direksi Bank Harapan Sentosa), Samadikun Hartono (Presdir Bank Modern), Lesmana Basuki (Kasus BLBI), Sherny Kojongian (Direksi BHS).

Selanjutnya, Hendro Bambang Sumantri (kasus BLBI), Eddy Djunaedi (kasus BLBI), Ede Utoyo (kasus BLBI), Toni Suherman (kasus BLBI), Bambang Sutrisno(wadirut Bank Surya), Andrian Kiki Ariawan (Direksi Bank Surya), Harry Mattalata alias Hariram Ramchmand Melwani (kasus BLBI), Nader Taher (Dirut PT Siak Zamrud Pusako), Dharmono K Lawi (kasus BLBI).

Ada warta ekstrem dari China ketika bicara soal asa gila dan ide gila untuk melibas koruptor di negeri Tirai Bambu itu. Sebuah koran China melaporkan bahwa seorang pejabat yang tertimpa tuduhan korupsi diduga telah ditenggelamkan tim penyelidik negeri itu.

Menurut surat kabar Beijing Times, pejabat itu bernama Yu Qiyi (42). Ia diduga telah ditenggelamkan ke dalam bak mandi yang diisi air es sampai ia berhenti bergerak. Yu kemudian dilarikan ke rumah sakit, namun, beberapa jam kemudian, ia meninggal dunia.

Mengapa asa dan ide gila itu sampai diterapkan ketika merespons kasus korupsi yang menyentuh ranah positivisme hukum dan moralitas? Filosof hukum dari New College Oxford, H.L.A, Hart menyatakan, ada sejumlah fakta (kebenaran) yang tak terbantahkan ketika berbicara mengenai kualitas manusia.

Substansi teori hukum dibangun berdasarkan sejumlah kebenaran, salah satunya manusia terkadang cenderung bahkan terbiasa dengan kekerasan fisik. Manusia juga lebih kurang setara dalam kemampuan mereka untuk menolong dan melukai satu sama lain, karena orang yang paling kuat pun membutuhkan waktu tidur.

Implikasinya, apakah memang sungguh diperlukan hukuman yang menistakan kualitas kemanusiaan bagi para koruptor mengingat korupsi di negeri ini telah mengakar dan menjadi "habitus" buruk bangsa.

Di mata filosof Pierre Bourdieu, habitus artinya, hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis keseharian, dan tindakan itu tidak selalu harus disadari. Tindakan itu (baca:korupsi) menjadi perilaku yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu (baca: masyarakat Indonesia).

Dengan demikian, kalau korupsi sudah menjadi tindakan keseharian yang tidak menumbuhkan rasa bersalah, maka setiap orang yang tergabung ke dalam struktur kekuasaan cenderung korupsi. Korupsi sangat menggurita dan menjadi habitus buruk bangsa Indonesia.

Bagaimana korupsi di hadapan palu godam hukum? Ketika mengulas teori positivisme hukum kontemporer H.L.A. Hart, dosen STF Driyarkara, Antonius Widyarsono SJ menulis Hart bersikap kritis terhadap moralisasi konsep hukum yang dapat menjerumuskan ke dalam bentuk konservatisme ekstrem, dan menciptakan anarkisme revolusioner.

Konservatisme yang ekstrem itu beranggapan apa saja yang dirumuskan sebagai hukum dengan sendirinya bermoral, maka segala hukum itu mengikat secara moral.

Anarkisme revolusioner beranggapan bahwa apa saja yang dirumuskan sebagai hukum itu bermoral, maka pemerintah perlu dikoreksi, jika apa yang mereka sebut sebagai "hukum" tidak dapat dibenarkan secara moral.

Hart menyimpulkan bahwa sikap yang tepat terhadap hukum adalah sikap yang mengganggap bahwa segala hukum selalu terbuka kepada kritisisme moral. Tidak ada alasan konseptual untuk mengandaikan bahwa hukum "yang ada" dan hukum "yang seharusnya" selalu sama.

Bagaimanapun baiknya sistem peradilan disiapkan dan bagaimanapun banyaknya preseden dalam hukum, maka aturan-aturan yang ada tidak mungkin meliputi segala kemungkinan kasus, termasuk kasus korupsi yang beraneka ragam modus dan caranya.

Mudahnya, uraian yang njlimet dan dapat membuat dahi berkerut itu dapat disejajarkan dalam pernyataan yang pernah dikemukakan oleh mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum ketika menjawab dugaan kasus proyek Hambalang, Bogor, Jawa Barat.

"Saya yakin. Yakin. Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas," kata Anas di Kantor DPP Demokrat, Jakarta Pusat, Jumat (9/3/2012).

"Saya tegaskan, ya, KPK sebetulnya tidak perlu repot-repot mengurus soal Hambalang. Mengapa? Karena itu, kan, asalnya ocehan dan karangan yang tidak jelas. Ngapain repot-repot," kata Anas pula.

Berangkat dari kasus vonis DS sampai kasus Hambalang, ada pernyataan dari penulis lelucon dari Roma (yang hidup pada 85-43 sebelum Masehi), Publius Syrus. Ia menulis "Iudex damnatur cum nocens absolvitur" (hakim akan dikutuk ketika orang yang bersalah justru dinyatakan bebas).

Dan seorang pemirsa di sebuah televisi swasta berkata, "Dengan merebaknya kasus korupsi ini, apakah rakyat perlu turun ke jalan dengan parlemen jalanan?"

Nah, ini baru ide gila, ini baru gila ide.

(T.A024)