Jakarta (ANTARA) - Galeri seni asal Indonesia, Linda Gallery memprakarsai pameran tunggal bertajuk "Twilight of The Gods" di Singapura yang menampilkan karya-karya terbaru milik seniman China Zhang Lin Hai.

CEO Linda Gallery, Linda Ma merasa bersyukur bisa kembali memamerkan karya terbaru seniman surealis kontemporer yang pernah berpameran tunggal di Museum Nasional, Jakarta. Bagi Linda, Zhang merupakan seniman yang sangat jujur dalam membuat karya.

"Dibuat dengan hati, hingga emosi dan gairahnya sebagai seniman bisa dirasakan dalam karya-karyanya. Tidak banyak seniman lukis seperti Zhang Lin Hai. Itu sebabnya, saya sangat bersemangat kembali memamerkan puluhan karya terbarunya di awal tahun ini,” ungkap Linda dalam siaran pers pada Minggu.

Lebih lanjut Linda menjelaskan, ada perubahan signifikan dalam karya-karya terbaru Zhang. Dia menerka, trauma masa lalu yang mulai terkikis perlahan dan pilihan sang seniman untuk menetap di Kanada dalam beberapa tahun terakhir turut mengubah karya-karya Zhang menjadi "lebih kaya".


Baca juga: Pameran ilustrasi buku anak Jepang digelar di Jakarta Februari
CEO Linda Gallery Linda Ma bersama seniman Zhang Lin Hai dan kurator seni Wu Hong dalam pembukaan pameran tunggal bertajuk ”Twilight of The Gods” di Singapura. (ANTARA/HO-Linda Gallery)


Zhang memiliki masa lalu kelam karena dibesarkan di panti asuhan dan mengalami cacat fisik akibat penyakit polio. Ia juga saksi hidup pergolakan revolusi kebudayaan di China pada masa itu.

Zhang yang lulus dari Akademi Seni Rupa Tianjin menjadikan karya seni -- dimulai dari ukiran kayu kemudian berkembang ke kanvas -- sebagai caranya untuk "bertahan hidup dari reruntuhan masa lalu".

Ciri khas karyanya terletak pada gambar anak-anak botak yang berkeliaran di padang gurun dan perdesaan. Subjek tersebut berasal dari rasa sakit dan kesedihan pribadinya sebagai seorang anak, dan mencerminkan perjuangan masa kecilnya serta mimpinya untuk melarikan diri dan upaya pembebasan.

Tidak mudah untuk memahami karya seni Zhang, karena interogasinya tentang kehidupan, mediasinya tentang takdir, pengalamannya tentang kesedihan dan kebahagiaan hidup, selalu diekspresikan dalam kebingungan yang misterius dan upaya untuk pembebasan diri.

"Tapi seiring waktu, perubahan lingkungan tempat tinggal, karya Zhang saat ini terasa lebih rileks. Saya melihat ia mulai mau mengeksplor lebih dalam. Ada misi dalam lukisan terbarunya kali ini, bukan hanya ekspresi dari perasaannya semata,” puji Linda.

Tidak hanya menggunakan kanvas, karya Zhang yang dipamerkan kali ini memakai media baki antik peninggalan dinasti kuno China yang merupakan koleksinya. Dalam karya-karya terbarunya, Zhang terinspirasi mitologi Nordik "Twilight of The Gods" tentang penghancuran alam semesta dan umat manusia.

"Sebuah kontemplasi dari pengalaman masa lalu dan harapan akan masa depan. Semoga dunia ini terhindar dari bencana dan penuh kedamaian," jelas sang seniman.

"Apakah masa depan yang penuh kedamaian itu sungguh ada. Atau apakah bencana justru adalah sarana untuk hadirnya generasi baru agar siklus dunia bisa dimulai kembali? Saya masih berharap dunia tanpa bencana dan penuh kedamaian,” kata dia.

Baca juga: Pameran seni Kisah Rimba jadi inspirasi masyarakat lebih peduli hutan

Pendapat kurator seni

Perubahan rasa dalam karya terbaru Zhang Lin Hai tak hanya dirasakan Linda Ma. Kurator seni kenamaan asal China Wu Hong yang mengenal pribadi dan karya Zhang sejak lama turut merasakan perubahan ke arah yang lebih optimistis dan "cerah" dalam karya terbaru itu.

"Selama hampir 30 tahun Zhang membuat karya seni, ia telah terlibat dengan perasaannya yang sebenarnya tentang pengalaman pribadi dan keluarganya," kata Wu Hong.

"Nasib, serta analisis sejarah dan status quo sosial dan budaya di daerah perdesaan Tiongkok yang luas, seperti diwakili oleh karyanya. Lingkungan masa kecil seperti sebuah pola dasar,” ulas kritikus seni itu.

Kurator Wu mengatakan, sang seniman kerap memunculkan lika-liku nasib kolektif dan siksaan spiritual di zaman modern. Melalui presentasi realis teatrikal dan magis dari adegan nyata yang mirip dengan api penyucian, Zhang memberi kritik terhadap tradisi otoriter dalam sejarah China, baik dalam konteks sosial maupun budaya.

"Tapi bersamaan dengan kritiknya yang keras itu, Zhang masih memiliki simpati dan belas kasihan untuk semua makhluk hidup yang tersiksa dalam pusaran waktu dan siklus sejarah. Ia mengungkapkan simpatinya itu dengan menyalahkan kebutaan bawaan, ketundukan, dan ketidaktahuan dalam ketidaksadaran kolektif bahwa menjadi kaki tangan otokrasi adalah bagian dari kejahatan manusia,” kata dia.

Ia melanjutkan, dalam karya seninya, Zhang mengambil sumber dari kegelisahan masyarakat yang tertekan, baik secara sosial, politik, dan budaya.

"Namun sekaligus mempertanyakan nasib akhir dan paradoks eksistensial umat manusia jika hal semacam itu terus dilakukan. Akankah kehancuran manusia akan terjadi, atau justru kedamaian akan terwujud?" ucap sang kurator menutup wawancara.

Baca juga: MSD-YKI gelar pameran seni kampanyekan kesadaran kanker pada 2024